STUDIUM GENERALE 2020: SRI MULYANI INDRAWATI

Waktu baca: 20 menit | Jumlah Kata: 3,682

Kita semua percaya bahwa kualitas SDM itu penting. Dia strategic. There’s no question about it.

Selamat sore untuk seluruh para peserta LPDP, baik yang sedang melaksanakan tugas belajar, atau para alumni, atau yang sedang mempersiapkan,

Pertama, saya ingin menyampaikan selamat kepada Anda semua sebagai sekelompok kecil masyarakan Indonesia yang mendapatkan suatu fasilitas dari negara untuk bisa meneruskan dan mencapai cita-cita paling tidak di bidang pendidikan, yaitu mendapatkan pendidikan di level tingkat universitas, atau bahkan di atas sarjana, yaitu pasca sarjana. Tidak semua tahu bahwa sumber daya manusia adalah aset yang paling berharga dari suatu negara, suatu institusi, suatu korporasi, suatu keluarga. Apa pun kalau kita memiliki sumber daya manusia yang baik, kalau itu ditingkat paling kecil, keluarga, ya berarti keluarganya pasti akan, tidak hanya bangga, tetapi juga bisa memenuhi seluruh aspirasi untuk, apakah dia ingin menjadi orang berguna, menjadi orang yang bisa membuat inovasi, atau bahkan ingin menjadi kaya juga.

Kalau dia di tingkat korporasi, korporasi yang memiliki SDM yang bagus, dipastikan dia akan makin bisa kompetitif, melihat perubahan, meningkatkan dan kemudian dia akan bisa menjadi juara di bidang industrinya. Kalau di bidang negara, ya berarti kalau kita memiliki sumber daya manusia yang baik, kita akan memiliki suatu negara yang kuat, yang tadi disebutkan, apakah bisa berinovasi, berkreasi tidak hanya mencari kerja, tetapi bisa menciptakan kerja, kompetitif, produktif, kalau kita menggunakan teori pertumbuhan ekonomi, itu biasanya kita menggunakan faktor produksi Labour dan Capital, tetapi labour dan capital itu dicombine untuk meningkatkan produktivitas adalah, biasanya dengan teknologi. Dan kemampuan untuk  bisa meningkatkan produktivitas Labour dan Capital sangat tergantung pada kualitas SDM lagi.

Jadi mau kemana saja, kita akan kembali mengatakan bahwa SDM itu penting. SDM itu esensial dan komitmen politik kita sangat tinggi. Semenjak era reformasi, kita selalu mengatakan bahwa Indonesia ingin mengejar ketertinggalan terutama di bidang pendidikan. Dan oleh karena itu, waktu di era reformasi, yaitu sesudah presiden Soeharto mundur dan munculnya era reformasi, kita mengubah undang-undang dasar kita. Kita mengubah konstitusi, bukan undang-undang, konstitusi, which is ga bisa di-produce setiap tahun gitu. Konstitusi kita dengan satu-satunya bidang aktivitas yang di-earmarked, yang harus disediakan anggarannya itu hanya pendidikan, yaitu harus 20% dari anggaran. “No matter what,” katanya. Ya kan! “No matter what.” Mau kondisi APBN-nya lagi kempes, lagi besar, ekonominya lagi boom, lagi buzz, lagi kita menghadapi covid, itu tidak boleh dikompromikan, anggaran pendidikan harus tetap 20%, itu dikonstitusi kita.

Nah ini berarti, kalau kita mau bicara Indonesia, kita sudah apa yang disebut political will besar, konsitusional explicitly menyebutkan pendidikan adalah nomor satu. Jadi sekarang Indonesia itu ditantang, oke kalau sudah punya political will, ada determinasi, sudah ditulis dikonstitusi adalah it’s up to us, kita semua ini, masyrakat Indonesia, generasi muda, para policy maker di dunia pendidikan untuk menerjemahkan komitmen dan political will itu menjadi result, kan gitu kan. Kalau ga, ya dia akan menjadi retorika politik. SDM penting, pendidikan itu harus prioritas, terus kita mengalokasikan 20% seperti konstitusi kita meminta atau menginstruksikan, mewajibkan, namun kita kemudian kecewa semua. Itu satu.

Jadi, ini starting point. Ini saya berbicara dengan orang, semuanya temen-temen di LPDP itu bukan orang sembarangan. Anda orang-orang yang sudah disaring, Anda adalah orang-orang pilihan. Jadi saya tidak bicara dengan Bahasa biasa sama Anda. Anda adalah manusia yang memiliki tanggung jawab besar terhadap Republik ini.

Sekarang kita bicara tentang bagaimana kita bisa men-translate political will dan determination tadi dari konstitusi kita dengan anggaran 20% menjadi results, menjadi hasil. Nyatanya, waktu saya menjadi menteri keuangan sejak Tahun 2005, saya menjadi menteri keuangan sampai sekarang, saya masih constantly concern apakah anggaran pendidikan 20% itu sudah kita gunakan dan kita kelola sebaik-baiknya, kan kayak gitu. Ini saya sebagai menteri keuangan. Makanya waktu Nadiem jadi menteri, dia yang termasuk pertama kali bilang mau jadi menteri, “saya mau jadi menteri asal saya bersama ibu Menteri Keuangan yang selalu berbicara tentang pendidikan meskipun dari sisi sudut keuangan.” Makanya kita banyak bicara.

Pak Nadiem termasuk menteri, sedikit menteri, yang datang khusus ke saya, apa sebetulnya, tadi yang disampaikan mas Nadiem tadi, ide-ide reformasinya dan apa tujuannya. Dan saya memberikan ruang seluas-luasnya. “Ok, saya pingin denger,” karena ini adalah concern kita semuanya. Tahun 2020 waktu kita ditengah-tengah menghadapi covid, dimana kita mengeluarkan belanja untuk prioritas utamanya adalah covid, kita masih mengalokasikan pendidikan itu tetap dipertahankan 20%, 547 triliun. Jadi waktu anggaran belanja kita makin gede karena ada covid, covid nambah kan, kita berikan anggaran sampai 80 untuk kesehatan. Untuk bansos kita tambahkan 210 triliun, untuk UMKM 115 triliun. Jadi setiap kali kita nambah belanja, pendidikan dapet 20%, gitu ya. Bayangin ga sama Anda semuanya?

Dulu selalu saya katakan, “loh kalo gitu, setiap kali anggaran nambah, dan pendidikan Anda ga harus bikin proposal, karena sudah ongkang-ongkang pasti dapet 20%.” Itu bisa jadi downside risk untuk kita semua. Itu bisa jadi risiko bahwa kita menjadi complacent, wah anggaran itu pasti disediakan dan diprioritaskan dan kita kemudian tidak sensitive dan bekerja keras untuk menyakinkan bahwa anggaran itu bisa digunakan sebaik-baiknya dengan hasil yang sebaik-baiknya. Maka, semenjak tahun 2008 2009, ide saya untuk membuat dana abadi itu karena saya khawatir. Kalau setiap tahun harus dialokasikan dan harus habis, terus tiba-tiba kita ga siap dengan program kita. Maka waktu itu saya mulai, “kita bikin aja dana abadi.” Kalau anggaran pendidikan yang dinaikkan 20%, setiap kali anggaran naik.

Umpamanya, anggaran kementerian pertahanan naik, maka 20% harus dialokasikan untuk pendidikan. Padahal yang selalu melakukan program pendidikan ga selalu siap untuk tambahan output 20% lagi ya. Nah daripada ini menjadi sesuatu yang tidak menghasilkan sesuatu yang dipikirkan matang, kita tampunglah dalam sebuah dana abadi. Jadi, ga harus selalu habis dalam tahun anggaran karena kalau kita mengelola APBN, saya juga terikat dengan Undang-Undang Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan diaudit oleh BPK, kemudian kita pertanggungjawabkan ke DPR, ya kan kayak gitu. Nah itu berarti setiap tahun, “Berapa dana Belanja, dan berapa dana yang betul-betul untuk pendidikan.”

Itulah kemudian muncul cikal-bakal ide dibentuknya dana pendidikan abadi, yang kemudian menjadi LPDP. Itu satu. For very pragmatic but strategic reasons. Pragmatic reason, ya saya tahu ini anggarannya akan naik terus dan kemudian saya lihat tidak selalu seluruh kementrian lembaga dan pemerintah daerah itu siap, paling mudah dan paling cepet proposalnya adalah bikin sekolah, bangunan dulu, itu paling gampang. Kedua, ya mungkin beli-beli alat. Makanya kan banyak juga sekolah yang bagus, diganti-ganti terus. Ada sekolah yang bagus malah ga dapet. Itu juga masalah alokasi. Tapi, kita melihat bahwa ini tidak selalu siap untuk mendesain belanja negara yang baik. Nah, dengan adanya LPDP, kita memulai suatu tradisi bahwa anggaran tidak harus habis tetapi kita kelola untuk menjadi dana abadi untuk generasi yang akan datang.

Sekarang persoalan kedua adalah strategi menggunakan LPDP ini. Dimulai dengan 1 triliun waktu itu idenya very simple, saya sebagai menteri keuangan, yang kata Mas Nadiem tadi dia pergi ke luar negeri, kemana-mana, saya sudah sekolah di luar negeri, sudah tinggal di luar negeri, saya menjadi menteri keuangan. Saya ketemu sama menteri keuangan di ASEAN saja, tiba-tiba ngomong sama menteri keuangan Malaysia, Singapore. Mereka dengan bangganya cerita, “Uh, saya ngirim 100 orang di London School of Economics, saya Singapore bilang saya mengirimkan di Hardvard, gitu.” Terus saya balik lagi ke kementerian keuangan terus saya tanya, “berapa S3 di tempat saya yang lulusan luar negeri?” waktu itu ga ada lima orang.

Terus saya merasa, “Loh, ini negara kita paling gede, tapi tetangga kita udah ngirim orang-orang di universitas terbaik.” Itu sebagai ide awal. “Ya sudah kalau kayak gitu, dana pendidikan abadi ini kita gunakan hasilnya untuk nyekolahkan anak-anak kita yang terbaik. Supaya kita ga merasa Indonesia ga punya orang yang sekolah di universitas-universitas terbaik di dunia. Waktu itu saya ga pikir, harus ambil Science, Medical, Economics, atau Finance, whatever lah. Menurut saya, Indonesia itu kebutuhannya banyak banget. So, you name it, gitu.

Nah, oleh karena itu sekarang dengan LPDP jumlah dananya makin besar karena setiap tahun kita pupuk, maka kita bisa mengirim jumlah orang yang makin banyak. Kalau menurut catatan dari pak Rio, yang sekarang ini sedang persiapan keberangkatan saja, 1.162 di dalam negeri dan di luar negeri. Totalnya kalau ga salah sudah mencapai lebih 20 ribu. 785 orang adalah laki-laki, 877 perempuan. Saya seneng, keliatan sekali kali kalau perempuan dikasih kesempatan ke tingkat yang lebih tinggi, nih porsinya lebih banyak perempuan, yakan. Kemudian yang dialokasikan dari Sumatera 249, dari Jawa 1.041, Kalimantan 55, Nusa Tenggara dan Bali 132, Sulawesi 123, Papua 30 dan Maluku 28. Yang mengambil PhD, Doktor 323. Yang mengambil dokter spesialis 54. Magister 1263. Yang regular 426, yang afirmasi, dimana kita tadi kan ada pertanyaan dari daerah Timur Indonesia. Afirmasi itu banyak sekali, ada yang dari pesantren, kami sedang mengalokasikan untuk penyandang disabilitas, untuk Indonesia bagian Timur, untuk anak-anak dari keluarga prasejahtera.

Itulah yang kita sebut dengan design dari policy tools kita. Karena jangan sampai orang dari keluarga miskin, anaknya ga bisa sekolah, tidak diimunisasi, dia sakit, dia nanti tidak bisa jadi anak yang baik. Makanya, dari mulai pendidikan usia dini, dari yang Mas Nadiem bilang, supaya kita berpihak pada keluarga miskin, make sure bahwa the next generation-nya ga miskin. Ya harus dipotong itu tali kemiskinan antar generasi. Jumlahnya, pastinya akan terus perlu ditingkatkan, tapi idenya dan cara kita bekerja memang perlu ke situ. Termasuk kita juga memperbaiki mutu dari dosen-dosen karena, yang dikatakan Mas Nadiem, banyak anak kita pengen meneruskan ke perguruan tinggi, tapi sesudah ke perguruan tinggi dia tidak mendapatkan quality dari education yang diharapkan, apalagi yang diharapkan oleh industry. Sehingga waktu dia lulus makin tinggi, bukannya makin mendapat pekerjaan, malah makin gap-nya gede. Dan itu bisa menimbulkan frustrasi karena dia merasa sudah belajar tapi tidak fit dengan kesempatan kerja yang ada.

Nah ini adalah persoalan-persoalan yang ingin saya bagi kepada Anda semuanya. Dan anda kepada saya tidak boleh mempunyai attitude bahwa dia Menteri Keuangan harus menyelesaikan masalah saya. Oh enggak. Saya tugasnya membagi masalah ini kepada Anda semuanya karena, sama seperti Anda semuanya, saya dulu juga sekolah SMA saya ngambil di Universitas Indonesia. Saya berkompetisi untuk mendapatkan beasiswa beasiswa hanya sampai master, tapi saya mau nerusin untuk PhD. Saya harus bekerja untuk meneruskan PhD saya balik lagi kerja keras. Harus pisah sama anak sama suami selama satu tahun waktu membuat disertasi karena duitnya abis. Jadi kalau anda bicara semua, “I’ve been through the same stage,” seperti Anda semuanya. Dan sekarang saya sudah bekerja dan saya diminta untuk menyelesaikan masalah Republik Indonesia, begitu. Jadi sama seperti Anda semuanya, saya dilatih untuk menjadi orang-orang yang yang memberi solusi kepada Republik. Dan Indonesia itu juga kalau masalah pasti banyak, tapi yang punya ide untuk memecahkan masalah dan konsisten menyelesaikannya, itu yang harus kita perbanyak. Saya minta LPDP itu adalah gudangnya orang-orang yang tadi, yang enggak cuma komplain melihat kesana kemari, ada masalah terus juga ngomongin aja. Tapi sekarang kita kerjakan aja yang anda bisa kerjakan, dan sekarang kita akan coba buat.

Sekarang saya mau bicara kan tentang design policy tadi. Kalau tadi Mas Menteri punya ide untuk pendidikan kita makin bisa dimerdekakan dan dia percaya bahwa pendidikan kemerdekaan itu ada interaksi, ada exposure, maka anda tidak hanya belajar dari buku dan dari satu dosen di kelas. Dan Anda juga bisa belajar dari exposure. Saya juga percaya terhadap hal itu karena saya mengalami hal sendiri bagaimana saya terekspos pada proses pendidikan saya. Dan itu membuka banyak sekali perspektif dan pikiran serta ide kita, wawasan istilahnya. Kita nggak akan pernah berpikir, “oh ternyata sekolah yang dikelola dengan baik itu bisa menghasilkan hal yang baik.” tanpa kita bertanya.

Waktu saya lihat anak saya sendiri sekolah di Amerika, melihat bagaimana mereka belajar baris untuk masuk sekolah, ke school bus-nya. bagaimana mereka turun dari bus-nya diatur masuk kelas dan bagaimana mereka dari SD itu sudah pindah kelas. Kalau kelas saya di sini, kelas bahasa di sini. Jadi anak-anaknya itu pindah-pindah gitu. Semua-semuanya memberikan perspektif kepada kita semua.

“Oh dia mengelola sekolah kayak gitu,” kita sebagai parents diundang waktu gurunya menjelaskan mengenai kemajuan anak kita. Maka saya itu termasuk orang tua yang mengambil rapot anak saya. Kalau mau ngambil rapot, saya datang ke situ. saya menteri waktu itu bukan karena alasan saya sibuk, saya datang aja dan saya harus bicara dengan gurunya untuk tahu kemajuan anak kita. Hal-hal yang semacam itu hanya akan terjadi kalau kita terekspos. Nggak belajar dari text books. Kita terekspos sehingga kita terbuka wawasannya.

Umpamanya kita bicara saya sering disebut oleh ibu Sri Mulyani selalu bicara tentang inklusivitas, itu kan karena saya terekspos waktu saya sekolah di Amerika. Saya melihat, “oh sebagai umat muslim di sana, waktu Christmas di mana-mana banyak sekali, di mall banyak Christmas.” Tapi waktu lebaran, nggak ada apa-apa disana. “so you feel like minority.” dan kemudian kalau ada teman kita menyapa, “Oh, kamu hari ini puasa ya? Oh, hari ini kamu lebaran ya?” Dan mereka mengucapkan selamat oleh teman kita, kita merasa very happy.

Itu saya tidak usah di ajarin. Saya terekspos. Merasa diri sebagai. Sama seperti kalau kita bekerja di laboratorium waktu saya menjadi teaching assistants. Oh saya berada dengan semua teaching assistants yang lain. Oh saya ngerti bahwa dosen cara ngajarnya begini. Itu terekspos.

Artinya yang dikatakan Mas Nadiem tadi, kita kepengen mahasiswa kita itu terekspos. Tidak melulu masuk dan kemudian mengumpulkan SKS, no matter how relevant sks-nya, dan kemudian waktu dia lulus, dia masih harus mencari lagi ternyata tidak memadai begitu. Belum kalau kita bicara tentang emotional skill, social skill kita, leadership skill kita, organizational skill yang semuanya harus kita peroleh pada saat kita terekspos dengan berbagai hal. Inilah yang saya ingin saya share dengan anda semua.

Jadi kalau APBN 2020 kita membelanjakan 547 triliun, dan tahun depan kita another 550 triliun, itu ya. Kalau saya ingat, 550 triliun itu kayak sebuah anggaran membuat ibukota baru loh. Iya kan. Jadi artinya kita akan mengatakan bahwa hasilnya apa? Umpanya program. Kalau output saya bisa menjelaskan kepada Anda, karena di APBN harus disebutkan, membelanjakan segini, outputnya apa. Maka kita selalu bisa bilang: ada 15,5 juta siswa yang akan dapat beasiswa dengan dana tadi, ada 634 ribu yang akan mendapat beasiswa kuliah, ada tujuh juta siswa yang akan mendapatkan anggaran untuk biaya operasi sekolah, ada 528 sekolah yang akan dibangun, ada 226 Madrasah dan sekolah keagamaan yang dibangun, ada 5,6 juta anak usia dini yang akan dibantu, ada tunjangan profesi guru untuk 838. Saya bisa menyebutkan semua output itu. Tapi waktu anda tanya, bu output itu menghasilkan quality atau results? That’s another thing. Dan untuk Anda semuanya, saudara-saudara sekalian yang sudah masuk kedalam LPDP, anda harus menjadi generasi yang sangat sensitif terhadap results dan quality. It’s not just quantity atau output, tapi outcome.

Kami dengan kementerian keuangan akan untuk mencoba untuk terus mengarahkan dan mengimpose atau membangun sistem anggaran yang memaksa pengguna anggaran itu bertanggung jawab terhadap tidak hanya output, tapi juga results. Kita bikinkan, gitu kan, platformnya, templatenya. Dan kemudian itu menjadi tata kelola, menjadi bisnis model penggunaan anggaran. Tapi yang mengisi itu semuanya ya itu kita semua ini, Kementerian lembaga, Anda semuanya. Dan kita akan terus-menerus melakukan inovasi.

Umpamanya, contohnya tadi kita sedang menghadapi covid dan semuanya work from home, school from home, anggaran di APBN nggak ada untuk memberikan subsidi internet. Tapi ini menjadi force majeur anda semua harus di rumah. Maka kita mengotak-atik anggaran supaya direalokasi, yang ini belanja ini dikurangi, dan dikasihkan untuk internet. Giliran Mas Nadiem yang harus mencari. Ada nggak nama muridnya dan nomor teleponnya. Apakah nomor teleponnya dan internetnya dipakai untuk belajar, atau dipakai untuk main game. Dan itu harus dipikirkan. Gitu kan. Dosen, guru, anak-anak sekolah, dari mulai SD, SMP, SMA, mahasiswa semuanya sekarang diberikan apa yang disebut kuota subsidi internet. Anggarannya 55 triliun. Untuk berapa juta orang? 51 juta siswa, 5,3 juta mahasiswa, 3,5 juta guru, 258 dosen. Itu yang kita coba untuk melakukan berbagai macam, apa tadi, responsiveness dan flexibility agar kita bisa juga terus menghadapi tantangan yang kadang-kadang kita tidak siapkan, seperti covid ini.

Untuk tahun depan kita juga mengalokasikan anggaran untuk, tadi yang teman-teman menanyakan dari Indonesia Timur. Kita kita tahu bahwa sekarang konektivitas menjadi suatu kebutuhan yang basic. Orang tidak bicara orang, kalau dulu bicara tentang sandang, pakan, papan, sekarang konektivitas dan electricity itu menjadi kebutuhan basic. Maka pemerintah mencoba untuk mencapai 100% elektrifikasi kepada seluruh household Indonesia. Dan 1 juta yang terakhir itu biasanya yang paling sulit, dan juga untuk internet connection masih ada 12 ribu desa yang belum terkonek. Kita harus memikirkan kalau kita bicara telemedicine, 10.000 puskemas kita tidak semuanya terkonek oleh internet. Maka kita harus melakukan untuk bisa membangun infrastruktur ICT ini. Mulai tahun depan ini termasuk yang paling besar anggaran untuk ditingkatkan, maksudnya kenaikan yang paling besar untuk anggaran di bidang ICT ini.

Tadi pertanyaan mengenai dana abadi. Dana Abadi kita untuk LPDP mencapai 51 triliun, itu Kuartal ketiga. Tahun ini tahun tutup tahun kita harus tetap mengalokasikan untuk sebagian untuk LPDP. Kemungkinan sudah akan mendekati 60 triliun. Dan seperti bapak presiden waktu beliau kampanye ingin memberikan dana abadi untuk universitas, untuk penelitian, untuk kebudayaan, kita mulai melakukan itu. Penelitian dari tahun sebelumnya, kita sudah mulai dari satu triliun. Walaupun di dalam dana LPDP, ada dana untuk penelitian juga, ya kan. Tapi saya sekarang kita diminta DPR untuk membuat dedicated untuk penelitian. Kemudian kebudayaan, Indonesia sebagai suatu negara yang besar yang bermartabat, beradab menjadi manusia seutuhnya maka kita membuat dedikasi untuk anggaran ini. Serta untuk mendorong universitas-universitas di Indonesia bisa masuk menjadi the best one hundred universities di seluruh dunia, mereka nggak akan mungkin kalau nggak ada endowment fund. Kalau anggarannya tergantung tergantung APBN alokasi dari kami, maka dia diperlukanlah suatu anggaran.

Nah sekarang saya dan Mas Menteri sedang berfikir, Gimana caranya pengelolaan anggaran itu dan what is the best use of it? How?” Makanya tadi Mas menteri bilang kita akan bikin berbagai macam, tadi, lomba atau kompetisi. Kalau Anda bisa matching teman universitas terbaik dunia atau Anda matching dengan industri maka kita akan bisa memberikan grant. Ini supaya Universitas ga hidup hidup apa yang disebut menara Gading. Dari dulu saya menjadi mahasiswa juga sering disebutkan, Universitas jangan menjadi menara Gading, seolah-olah kita di hidup sendiri dalam sebuah komunitas atau sebuah dunia tersendiri, sementara rakyat dan masyarakat atau perekonomiannya detach. Kita harus membuat dia sebagai higher level pendidikan, education, dia adalah bagian dari solusi bahkan untuk meningkatkan inovasi, kreativitas, produktivitas. Dan itu berarti, engagement dan exposure harus terus dibuat. Kalau zaman dulu namanya link and match, kalau sekarang namanya apa saja lah, kalau disebutkan. Tapi kira-kira memang idenya seperti itu. You can not stand alone. Anda harus blended dengan industri.

Nah saya ingin, bagian terakhirnya seperti ini, kalau Anda semuanya merindukan, oh dunia industri harus berkembang.” Tapi kalau Anda lihat pohon industri Indonesia, kita itu masih limited. Kita bisa mengatakan di bidang mining Indonesia, kaya akan mining. Tapi do you have mining industry yang advance? Kita ngambilin batu-bara, nikel, velo, emas. Do we have downside industry? Nggak juga. Oleh karena itu semuanya, entah jurusan Metalogi atau Science kalau dapat di negara lain, kalau pengen jadi apa saja di bidang Material, Anda perginya ke negara lain. Kalau Indonesia sendiri enggak punya, tidak mengembangkan ekonomi yang untuk bisa meng-create industri-industri seperti itu, ya nggak akan bisa jalan. Terus Anda bisa terus anda merasa, “Bu saya sudah sekolah tinggi-tinggi di Indonesia, nggak ada lembaganya saya, jadi saya harus ke negara maju terus.” Kan kayak gitu. Coba kita sekarang bicara tentang Food Estate, ketahanan pangan. Indonesia mau bicara dan mulai dari padi, non-padi, tapi kalau kita bicara tentang industri makanan dan sustainability of farm, itu kita masih sangat limited. Kita nggak punya perkebunan yang modern hebat. Ada sekarang palm oil, padahal kita dulu punya karet, kita punya coklat, kita punya kopra.

Nah hal-hal seperti inilah yang kita menggambarkan bahwa you can not separate ngomongin soal pendidikan tanpa melihat ekonomi besarnya. Nah sekarang saya ingin menyampaikan kepada kita semua, Kenapa kita membuat undang-undang Cipta kerja?” Regardless mau kita ngomongin tentang kontroversinya. Tapi nggak akan ada itu yang disebut industri-industri tumbuh kalau ease of doing business di Indonesia itu rumit sekali. Jadi ini adalah investasi bagi anak-anak kita semuanya. Mau dari industri pangan, industri mining, industri elektronik, kalau sekarang Anda mau bicara tentang industry digital, artifisial intelijen, yang disebut mau medical, whatever you say, otomotif. Semuanya itu akan muncul kalau ada Capital dan Capital hanya akan datang kalau ada sebuah negara yang memang menciptakan lingkungan investasi yang baik. Lingkungan investasi yang baik itu tidak eksploitasi karena tidak ada industri yang sustainable kalau dia eksploitatif. Jadi lingkungan investasi yang baik itu adalah win-win solution. Gak ada kita bicara bahwa investasi yang bagus itu kapitalis saja yang di-serve bagus, kemudian gurunya harus di eksploitasi, sumber daya alamnya dikorbankan, lingkungan dikorbankan. Karena kita sekarang ini dan kita beroperasi dalam mengelola Republik, kita tahu bahwa kalau Anda merusak lingkungan, produk Anda tidak akan dibeli.

Oh jangankan begitu, kalau sekarang kita memproduksi Listrik kita konsumsi sendiri tapi emisi CO2 nya kebanyakan kita juga akan dilihat oleh seluruh dunia. Jadi poin saya, adalah kita sekarang ini kalau kita mau bicara tentang pendidikan, kita tidak boleh separate dari tujuan kita untuk menciptakan kondisi Indonesia yang membuat seluruh orang bisa thrive, bisa berkembang. Orang berkembang kalau ada di Expose, Expose hanya terjadi kalau kita punya banyak sekali berbagai kegiatan ekonomi yang produktif tadi, bukan untuk mencari kerja, bahkan anda yang punya ide bagus, Anda bisa menggunakan menggunakan ide itu untuk cari Capital, dan anda bisa create dan anda nggak perlu minta izin ini, minta izin itu. Keburu ide anda sudah mati sebelumnya kegiatan Anda mulai karena terlalu banyak perizinan itu.

Itulah kenapa kita mengatakan ini semuanya adalah pondasi yang tidak terpisahkan. Jadi jangan pernah berpikir bahwa kalau ngomongin soal sumber daya manusia itu, it’s only a problem of Mas Nadiem, Kementerian Agama atau menteri ristek, SDM itu adalah masalah kita semua, Menteri Keuangan seperti saya harus terus attached pada kebutuhan. Menteri-menteri yang lain juga sama.

Ini yang saya ingin, sebagai penutup, saya katakan ya inilah cara kita untuk, tadi, mengaktualisasikan bahwa kita semua percaya bahwa kualitas SDM itu penting. Dia strategic. There’s no question about it. Sekarang gimana mengaktualisasikan bahwa SDM itu penting menjadi sebagai suatu policy, menjadi suatu aktivitas, menjadi program, menjadi kegiatan yang betul-betul menghasilkan, plus ekosistemnya diperbaiki. Ekosistem yaitu nggak cuma di perguruan tinggi aja, atau di sekolah, tapi tadi ekosistem itu, kondisi ekonomi yang baik, ease of doing business, kesempatan terbuka, demokratisasi, semua orang bisa maju, yang berasal dari keluarga yang tertinggal kita berikan afirmasi supaya dia bisa mengejar itulah yang disebutkan sebagai apa yang disebut pemihakan kepada peningkatan kualitas SDM.

___

No comments:

Post a Comment