BERNARDUS DWITA PRADANA:TANTANGAN ADALAH KESEMPATAN


Waktu Baca: 10 menit | 
Jumlah kata: 2,236

Tantangan bukanlah halangan. Sebaliknya, tantangan jadi kesempatan memacu diri untuk dapat melangkah jauh ke depan. Prinsip itu yang dipegang Bernardus Dwita Pradana S.E., Me-Comm., CKM, Ak., CPA, CSFA, QIA selama mengabdi di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Memulai karier di BPK sebagai administrasi umum pada 1990, Dwita hanya butuh waktu delapan tahun untuk bisa go international dengan menjadi training specialist untuk melatih tim-tim pemeriksa dari negara-negara ASOSAI atau Asosiasi Lembaga Pemeriksa se-Asia. Sejak itu, kariernya terus melesat hingga akhirnya ia sekarang dipercaya menjadi Staf Ahli Bidang Manejemen Risiko. 

Sebelum berkuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan kemudian bekerja di BPK, bapak sempat bersekolah pastur. Bisa diceritakan bagaimana perjalanan karier bapak hingga akhirnya memilih mengabdi di BPK?

Setelah saya lulus SMA seminari tahun 1987, memang saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan sebagai pastur walaupun saya lulus masuk di salah satu novisiat. Ada banyak pertimbangan. Saya merasa diri saya perlu hidup dulu dalam dunia kehidupan yang nyata. Saat itu, setelah lulus, ada 2 pilihan. Yaitu masuk teknik nuklir melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) dan STAN. Saya putuskan masuk STAN saja dengan segala pertimbangan. Antara lain, karena yang pertama kuliah di STAN itu beasiswa. Saya bisa meringankan beban orang tua karena orang tua saya adalah dosen negeri. Kemudian, ada jaminan setelah lulus langsung dapat pekerjaan. Alasan ketiga, saat itu saya berharap mudah-mudahan bisa bekerja di Jakarta yang memiliki dinamika kehidupan yang lebih kompleks dan menantang.

Pada tahun kedua kuliah di STAN, yaitu tahun 1989, saya mendapatkan tawaran apakah mau masuk BPK, BPKP, atau Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan-red) yang ada saat itu adalah Direktorat Jenderal Pajak. Saya putuskan memilih BPK karena di BPK saat itu baru angkatan kedua. Selain itu, saya mendapatkan informasi bahwa BPK memberikan kesempatan besar bagi pegawainya untuk berkuliah di luar negeri dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Saat itu saya CPNS golongan IIA. Setelah lulus D3 dari STAN, saya masuk ke BPK tahun 1990 sebagai administrasi umum dan tak lama kemudian ikut pendidikan penilik, 1991 sudah menjadi penilik. Pada waktu itu saya langsung masuk di Oditorat H yang kala itu membidangi Departemen Dalam Negeri untuk pemeriksaan APBN, kemudian untuk pemeriksaan APBD-nya di Pemprov DKI, Pemprov Jawa Barat, serta BUMD yang terkait.

Pada periode 1991 sampai dengan 2000 saya masih berkecimpung di Oditorat H yang kemudian namanya berganti menjadi Auditorat H di bawah Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) IV. Tapi waktu itu masih membidangi pemerintah daerah dan sebagainya. Dalam kurun waktu itu banyak sekali hal yang saya alami. Selain saya memeriksa di AKN IV, saya juga diminta bantuan untuk memeriksa di AKN yang lain, baik itu untuk memeriksa BUMN dan sebagainya. Pada 1991, saat itu sedang marak atau sedang gencar-gencarnya pemeriksaan berbasis komputer (EDP Audit). BPK dan BPKP bekerja sama mengembangkan pelatihan dan pemeriksaan TI. Saya kemudian bergabung dalam pendidikan dan pelatihan EDP Audit secara berjenjang di Jakarta, Malaysia, dan Canada.

 

Lulusan STAN biasanya sangat dicari perusahaan. Apakah bapak pada awal-awal tahun bekerja sempat mendapatkan tawaran dari perusahaan swasta?

Di awal-awal bekerja saya sempat berpikir karena banyak teman-teman yang masuk BPK, lalu keluar. Ada yang pindah ke Pertamina, ada yang di perusahaan swasta, dan sebagainya. Awalawal saya masih nyambi (part time). Sepulang bekerja di BPK, saya membantu suatu perusahaan di kawasan Tanah Abang untuk membuat laporan keuangan dan mengurus pajaknya. Namun dengan berbagai kesibukan, saya tidak melanjutkan pekerjaan sampingan karena banyak penugasan ke luar kota. Saya juga sempat melamar di salah satu bank nasional dan juga diterima masuk di sana. Take home pay yang ditawarkan jauh lebih besar dari yang saya dapatkan di BPK. Namun, saya tidak mengambil tawaran itu.

 

Apa yang membuat bapak memilih tetap bekerja di BPK saat itu?

Bangga sebagai pegawai BPK. Saat itu saya juga berpikir, ‘waduh kalau saya masuk di perusahaan swasta bagian internal audit di bank, pasti pulangnya malam. Saya tidak punya kesempatan untuk mengembangkan diri.’ Saya sudah membiasakan diri dengan pola bekerja di instansi pemerintah. Kemudian pada 1994-1996 saya mengambil S1 Akuntasi atas seizin BPK. Gelar sarjana itu tentu menambah kapasitas saya dalam melakukan tugas pemeriksaan.

 

Menurut bapak, momen besar apa yang menjadi batu loncatan bapak saat merintis karier di BPK?

Puji Tuhan, tahun 1998 adalah salah satu momen yang termasuk besar bagi saya. Karena pada tahun itu pimpinan BPK menugaskan saya untuk ikut dalam program INTOSAI Development Initiative-Asian Organization of Supreme Audit Institutions (IDI-ASOSAI) Traning Specialist selama kurang lebih 4 bulan. Dan sejak itu, saya menjadi salah satu training specialist yang sering mendapat penugasan untuk melatih tim-tim pemeriksa dari negara-negara ASOSAI. Puji Tuhan, semua biaya yang dikeluarkan itu ditanggung oleh IDI-ASOSAI sehingga tidak membebani APBN. Di situ saya belajar banyak mengenai praktik atau mandat pemeriksaan dan model pelatihan untuk para pemeriksa dengan tiga pendekatan kontemporer yang sejak itu juga sudah diterapkan di BPK maupun SAI (lembaga pemeriksa negara) lain, yaitu andragogy, experiential learning, dan systematic approach to training. Sampai sekarang pun saya masih tercatat sebagai training specialist. Namun, dengan semakin meningkatnya tugas dan tanggung jawab, tidak semua bisa saya penuhi. Sekarang lebih dominan ke sini. Karena pada waktu itu saya masih sebagai pemeriksa masih belum memegang jabatan struktural, jadi masih banyak kesempatan untuk membantu melakukan pengajaran di luar negeri.

Kemudian pada 2001-2003, saya melanjutkan studi S2 di bidang E­Com­ merce di University of Melbourne. Kala itu pimpinan memberikan arahan kepada saya kalau bisa saya ambil e­government karena e­government dalam beberapa tahun ke depan saat itu mulai booming atau mulai muncul. Tapi saat saya mencari, e­government kok belum ada yang ketemu. Akhirnya saya ambil e­commerce dulu di Australia. Saya kembali dari Australia pada 2003. Pada 2004-2006, saya mendapat kepercayaan menjadi Kasubag Kurikulum Sistem dan Metode di Pusdiklat BPK.

 

Berarti saat itu bapak untuk pertama kalinya bekerja di bidang nonpemeriksaan?

Iya nonpemeriksaan. Tapi, saya juga masih dilibatkan dalam pemeriksaan-pemeriksaan, masih diperbantukan. Pada saat yang bersamaan, pada 2004 kan waktu itu terjadi musibah tsunami Aceh. Banyak sekali bantuan-bantuan luar negeri. BPK pun didorong untuk melakukan sesuatu.

Saya ingat sekali, saat itu Pak Anwar Nasution (mantan ketua BPK), ketika terjadi musibah tsunami, beliau di lingkungan mereka. Programnya itu sekitar 2 tahun. Kita membantu membangun program pemeriksaan, pelaksanaan supervisi, kemudian pelaporan pun kita membantu menyusunnya sampai menyusun praktik-praktik terbaik pemeriksaan. Untuk yang public debt management audit, kalau tidak salah ada 60-an negara, tapi dibagi dua kelompok, yang satu mereka yang berbahasa Inggris yang satu Bahasa Prancis. Ini merupakan program terbesar saat itu.

Selain jumlah negara, jangka waktu langsung terbang ke Amerika Serikat untuk bertemu dengan SAI dari negara lain dan membahas apa yang bisa dilakukan lembaga pemeriksa negara. Awal Januari 2005, kita melakukan konferensi internasional dengan negara-negara yang concern dengan tsunami. Intinya, saat itu dengan banyaknya bantuan yang berdatangan, kita sepakat bahwa harus juga ada transparansi dan akuntabilitas. Jangan sampai ada penyalahgunaan dan sebagainya. Sehingga banyak negara-negara yang akan membantu BPK. Nah, saat itu, selain menjadi Kasubag KSM, saya mendapat tugas tambahan untuk mengelola bantuan dari lembaga-lembaga donor seperti ADB, AUSAID, USAID, dan lainnya. Pada saat itu juga, untuk pertama kalinya BPK mengembangkan teknologi GIS dan GPS untuk melakukan pemeriksaan bencana.

Pada 2006-2007, saya mendapatkan kepercayaan untuk menjadi Kabag Hubungan Antar Lembaga. Pada waktu itu, BPK sedang melakukan restrukturisasi organisasi, termasuk di lingkungan Biro Humas yang kemudian menjadi Biro Humas dan Luar Negeri. Ketika Biro Humas dan Luar Negeri terbentuk, pada 2007-2008 saya menjadi Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri yang pertama dalam struktur organisasi BPK yang baru. Saya mendapat tugas untuk membangun kerja sama luar negeri, bilateral, multilateral dan menguatkan peran BPK dalam organisasi ASOSAI dan INTOSAI. Kita meletakkan dasar-dasar kerja sama luar negeri BPK, termasuk membangun sistem, template, dan sebagainya.

Kemudian di 2008-2010 saya mendapat kepercayaan menjadi Kepala Biro Humas dan Luar Negeri yang saya rasa tugasnya luar biasa berat, yaitu menjalankan fungsi kehumasan dan menjalin hubungan luar negeri. Waktu itu sempat terpikirkan agar kedua ini dipisahkan, namun dengan beberapa pertimbangan, tak jadi dipisahkan. Hari demi hari saya amati semakin banyak tugas, humas itu kerjanya 24 jam, urusan luar negeri juga 24 jam karena ada perbedaan waktu dengan mitra luar negeri.

Tapi puji Tuhan, berkat arahan dan bimbingan pimpinan, serta dukungan teman-teman, semua berjalan lancar. Pada 2010, IDI merekrut saya. BPK merestui permintaan IDI dan menugaskan saya bekerja di IDI, Oslo, Norwegia, hingga 2012. Di sana tugas saya ada dua, yaitu sebagai Program Manager yang menangani Transregional Capacity Building Program dan Program Manager Knowledge Management. Yang pertama saya bertanggung jawab mendesain, mengembangkan, dan melaksanakan program pengembangan kapasitas di bidang pemeriksaan antara lain public debt management audit dan forest audit bagi SAI negara-negara berkembang yang pesertanya lebih dari satu regional, makanya namanya Transregional. Waktu itu yang forest audit ada 15 negara. Saya membantu 15 tim dari 15 negara untuk membangun kapasitas program 3 tahun termasuk dengan e­learning platform, melibatkan tim expert dari berbagai lembaga internasional seperti Bank Dunia, UNCTAD, UNITAR, INTOSAI, dan sebagainya. Selama di IDI, atas izin pimpinan, saya juga melibatkan peran BPK dalam program IDI, antara lain sebagai host, peserta, instruktur, narasumber, dan sebagainya.

 

Setelah dari Norwegia, bapak bertugas di mana?

Setelah itu, tepatnya pada 2012, saya kembali ke Indonesia. Selama tiga bulan saya ditempatkan di AKN III membantu dalam piloting GTMP (Gugus Tugas Manajemen Pemeriksaan). Ini adalah suatu fungsi sekretariat AKN yang mengelola sumber daya pemeriksaan dan membantu koordinasi pemeriksaan antar auditorat maupun membantu memfasilitasi pemeriksaan tematik.


Berkat kerja keras bapak di dalam negeri dan internasional, bapak kemudian dipercaya menjadi Kepala Perwakilan BPK Provinsi NTT. Bisa diceritakan bagaimana tantangannya menjadi kepala perwakilan di sana? Program apa saja yang bapak jalankan?

Saya mendapat kepercayaan menjadi Kepala Perwakilan di NTT pada periode 2012-2014. Yang jadi salah satu tantangan saat itu adalah leadership saya diuji dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang dari tahun ke tahun semakin menurun. Saat saya masuk ada sekitar 100 orang pegawai. Setahun berjalan berkurang menjadi 80 orang, tahun berikutnya berkurang lagi menjadi 60 orang. Sementara, jumlah entitas cukup banyak, yaitu 22 dan meningkat menjadi 23. Perlu strategi baik yang bersifat eksternal maupun internal.

Kami saat itu membuat program Road to WTP. Setidaknya ada 10 langkah menuju WTP dengan melibatkan pemda, DPRD, dan BPKP. Salah satu langkahnya adalah entitas harus memiliki SDM yang terampil dalam pencatatan akuntansi. Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan SDM di BPK NTT, kami ikut menerapkan teknologi e­audit. Kami melakukan profiling maturity TI dan pendekatan audit terhadap 22 entitas yang ada pada waktu itu. Saat itu BPK NTT mendapatkan apresiasi dari impinan sebagai satker perencanaan e­audit yang terbaik di BPK.

 

Bapak bertugas di NTT tak lama setelah pulang dari Norwegia. Bagaimana bapak beradaptasi dengan perbedaan kondisi antara Norwegia dan NTT?

Waktu itu memang banyak yang bertanya, orang yang dari Norwegia kok ditempatkan di NTT. Saya selalu melihat sisi positif. Pasti ada maksud pimpinan dan lembaga menugaskan saya ke sana, mungkin karena di Norwegia saya mendapatkan bekal baik dalam mengelola pekerjaan. Saat di Norwegia, sumber daya manusia juga terbatas. Saya hanya punya satu staf. Jadi, puluhan negara yang waktu itu saya pegang di Norwegia ya diurus oleh saya dan satu staf saya tersebut. Pengalaman saya itu yang mungkin menjadi pertimbangan pimpinan dan lembaga menugaskan saya ke NTT yang memiliki jumlah SDM terbatas. 

Pada intinya, kita harus selalu berpikir positif. Saya pun berpesan kepada teman-teman bahwa, pertama di manapun kalian ditempatkan, itu adalah hal yang harus kamu lihat sebagai kepercayaan, amanah, dan hal yang positif. Di situ pasti ada tantangan, tapi jangan dihindari. Kedua, di manapun kamu ditempatkan, sejak saat itu juga riwayat di CV kalian akan bertambah. Kita harus melakukan yang terbaik.

Ada pepatah Jawa ‘wang sinawang’. Di manapun kita bekerja pasti ada plus dan minusnya, dan itu tergantung pada diri kita sendiri dalam menyikapinya. Semuanya indah jika kita memiliki passion, bekerja dengan hati dan ikhlas. 

Setelah dari NTT, saya dipercaya menjadi Kepala Direktorat Litbang pada Ditama Revbang. Itu tahun 2014-2015. Di situ saya merasakan betapa menantangnya tugas dan fungsi litbang. Kemudian 2015-2019, saya dipercaya menjadi Inspektur Pemeroleh Keyakinan Mutu Pemeriksaan di Itama sebelum akhirnya diangkat menjadi Staf Ahli Manajemen Risiko sampai saat ini.

 

Bagaimana kiat-kiat bapak dalam menjalani setiap amanah yang diemban?

Berdasarkan berbagai amanah dan pengalaman yang pernah saya alami, kita harus memegang teguh nilai-nilai dasar BPK, yaitu Integritas, Independensi, dan Profesionalisme. Kita harus bisa membedakan antara tugas dan solidaritas. Maksudnya, kalau memang sudah saatnya menjalankan tugas, ya jalankan tugas itu.

Hal yang tak kalah penting adalah kita harus memiliki sikap respek dan bertanggung jawab. Kita mesti menghargai setiap orang. Karena jika kita menghargai orang lain, orang itu pasti juga akan menghargai pekerjaan kita. Tapi, menurut saya, yang paling utama yaitu loyal pada lembaga dan pimpinan di manapun kita berada dan ditugaskan. Last but not the least adalah dukungan keluarga.

 

Sebagai Staf Ahli Bidang Manajemen Risiko, apa saja yang menjadi tugas bapak? 

Tugas Staf Ahli Bidang Managemen Risiko ada dua, yaitu melakukan kajian mengenai kebijakan yang terkait dalam bidang manajemen risiko dan memberikan masukan kepada BPK mengenai strategi penerapan manajemen risiko dalam kelembagaan BPK.

Selain itu, saya membantu memberikan masukan sesuai permintaan satker lainnya sesuai kebutuhan dan kompetensi serta melaksanakan tugas-tugas sesuai arahan pimpinan dan Badan. Sesuai kebijakan dan pedoman penerapan manajemen risiko, saya juga terlibat dalam Komite Pelaksana Manajemen Risiko membantu Kaditama Revbang.

BPK saat ini sedang mengimplementasikan kebijakan dan pedoman penerapan manajemen risiko. Jadi, tugas saya adalah memberikan kajian penerapan manajemen risiko berdasarkan strategi yang sudah ada. Karena pimpinan sudah menyetujui strategi tersebut, saya akan meneruskan sekaligus melakukan evaluasi untuk penerapan dan penyempurnaannya. Kemudian, kita perlu fokus pada risiko operasional. Kita akan memetakan risiko operasional yang ada dan berpotensi terjadi di setiap satker. Setelah risiko operasional, yang tidak kalah penting adalah mengintegrasikan berbagai sistem manajemen di BPK ke dalam sistem manajemen risiko yang kita punya untuk membantu pencapaian tujuan BPK.

 ___

Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan | Majalah Warta Pemeriksa Edisi 5 Vol. II Mei 2019 | hal. 23 - 26

No comments:

Post a Comment