For almost 12 years (2012-2023), I have been working on audit matters. In 2024, I have decided to (let's say) hibernate for a while from audit fieldwork and so on and so forth. I am about to take another way of living for at least these five or six years ahead. I have the clear idea that Jesus is bringing me to experience the great shifts in this year, including my career.
This decision took me months before I am well rounded to shift from what I'm passionate about (being an auditor) to another step. Some people might feel disappointed about my decision, yet I do believe this hibernation will lead me to the unexpected events of life but just as it is written [in Scripture, Holy Bible], “things which the eye has not seen and the ear has not heard, and which have not entered the heart of man, all that Jesus Christ has prepared for me who love him [who hold Him in affectionate reverence, who obey Him, and who gratefully recognize the benefits that He has bestowed].”
Next, I'm striving to thrive in intellectual maturity which is pursuing my PhD. I am working on it, for sure! So, I expect my future posts would be related to PhD matters. When will it happen? Idk. Yet, I unwaveringly trust in Jesus, the one who will make it happen.
The post aims to document my last experience as an auditor.
First and foremost, I thank Jesus for His unstoppable-always-brand-new-and-available insight for me, so we are done working on the special purpose audit over expenditures of east nusa tenggara province for the years 2022 and 2023.
Next, It's an honor for me as Senior in Charge in this audit engagement. Thanks for our solid collaboration and our hard plus smart work to well finish this audit. We learn A to Z of audit life, or at least how to create a solid team amidst our differences. And yes, conducting audit on provincial level must be so challenging, we did it though. So, super thanks team!
I couldn't have done this audit engagement without you all; Lisma Pianti, Farid Ridwan, Rimmaniar Pakpahan, I Wayan Agus Wiranata, M. Andika Putra Al Ghiffary, Febrina Mandalika Sari, Ilham Muhammad Habibi, and I Wayan Tunas Sanjaya. Also, I'm happy to say that I really enjoy working with leaders such as Subkhan Affandi and Prakosa Widharto. Encore une fois, merci!
Kupang, May 15th, 2023. This post is dedicated to Tim Pemeriksa LKPD Kota Kupang Tahun Anggaran 2022.
Hi everyone.
We've surely been so busy lately and now it's time for me to express my appreciation for all your superb contribution. I'd like to extend my thanks to everyone who has worked together in this A-team. And yes, I do really want to keep this thank you note as genuine as possible.
I will surely remember how everyone helped each other to build both our technical dan non-technical skills during the audit engagement period. Also, I witnessed everyone has thrived as a person and as a team, and yes I thought I'm the one who enjoys the development the most.
Thank you:
1. Ibu Ayu - for your (technical dan non-technical) guidance.
2. Mba Lisma - for being so strong preggo-mom during the fieldwork
3. Mas Indra - for backing me up as a senior in charge in the team
4. Mba Nilam - for being super plus humble auditor-mom
5. Mas Ismail - for eagerly performing much better audit steps after my feedback
6. Mba Maria - for your willingness to always do extra mile efforts
7. Mba Jelita - for your humility to learn along the audit period
8. Mba Ayu - for constantly seeking help to conduct the step-by-step audit procedures
9. Mas Abid - for always supporting us in compiling files
In a nutshell, thank you for every meaningful contribution. May God bless you.
Kota Kupang
Kupang (Indonesian: Kota Kupang, Indonesian pronunciation: [ˈkupaŋ]), formerly known as Koepang, is the capital of the Indonesian province of East Nusa Tenggara. At the 2020 Census, it had a population of 442,758; the official estimate as at mid 2022 was 468,913. It is the largest city and port on the island of Timor, and is a part of the Timor Leste–Indonesia–Australia Growth Triangle free trade zone. Geographically, Kupang is the southernmost city in Indonesia. (https://en.wikipedia.org/wiki/Kupang)
Today's devotion is taken from 1 Kings 1: 1- 53, entitled David. And by the way, I read the Message Bible Version.
The main story is about Fake vs. Real Coronation. The fake one was made by Adonijah, Hagith's son, while the actual coronation - confirmed by King David - was for Salomon, Bathsheba's son. In this context, that was the best time for David to succeed the throne to his son as David grew old.
Here I share two points that I resonate with throughout my devotion time. I hope they will benefit you.
✅ Point #1
Instead of puffing up, always ask & involve Jesus. I'm so tempted to make up something looking great when I'm actually too confident about the expected achievement. By reading what Adonijah did while he was puffing himself up by saying, "I'm the next king." (1 Kings 1: 5) - whereas it turned out that he was nothing - I was reminded that I don't need to look great by puffing up the expected result, by praising extravagantly what I'll attain ahead, instead, I need to continually ask & involve the King (Jesus Christ) whether I will achieve this and that and these and those.
Aku jadi keinget dengan khotbah Ibadah Minggu lalu tentang "Selalu Tanya Tuhan". Apakah aku sedang jalanin hidup yang Tuhan mau? Bahkan aku sebaiknya ga hanya selftalk kalau aku bakalan mencapai ini dan itu and ini dan itu. Tapiiii, ini bukan berarti Tuhan mau kalo aku ga bikin rencana ini dan itu yaaa - misalnya, earning Chartered Accountant & PhD in Accounting - Tuhan Yesus teteup mau aku melakukan bagianku dengan merencanakan achivement dalam kehidupanku, cuman aku harus selalu inget (dan ga marah kalau diingetin sama Tuhan Yesus 🫡) kalau aku harus menyerahkan segala perbuatan aku kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanaku (Amsal 16:3). Aku sebagai, orang percaya kepada Yesus, seharusnya tidak melakukan sesuatu dengan sombong, tetapi harus mencari kehendak Tuhan Yesus dalam segala hal (Yakobus 4:14-16). Ketika motivasi, rencana, dan perbuatan aku itu benar, maka aku bisa menyerahkannya kepada Tuhan dan yakin bahwa Tuhan Yesus akan menegakkannya serta memberkati aku.🫱🏻🫲🏼
✅ Point #2
Corroborating my story. This story started when Nathan, the prophet, came to Bathsheba, Salomon's mother, informing her about the Fake Coronation of Adonijah. Nathan stated an important message to me: "While Bathsheba was talking to King David, I'll come in and corroborate her story." (1 Kings 1: 14). The Word teaches me to learn how to corroborate my story when necessary. In the audit context, I'm also reminded to gather, and document corroborated shreds of evidence to provide actual and robust findings. It is also a sound alarm as I'm joining SPA at PT Flobamor Kupang.
Nah, kalau ini beneran pas banget sama kerjaan aku sekarang. Aku kan lagi join tim Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas Kepatuhan PT Flobamor Kupang, aku diingetin untuk ngumpulin dan dokumentasiin bukti audit yang corroborate; yang mengonfirmasi temuan kami 👍🏻👌. Secara ukuran statistik waktu sih kayaknya ga bisa (aku kehilangan dua minggu waktu meriksa karena sakit bergiliran), tapi aku punya Tuhan Yesus yang besar yang t'lah berjanji kalau Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang aku harepin dan bukti dari segala sesuatu yang aku ga liat (Ibrani 11:1). Kalau Yesus udah janji, Dia selalui menepati janjiNya. Nah, Iman ku untuk pemeriksaan ini adalah: Kami, tim - termasuk aku, dimampukan untuk menyediakan temuan pemeriksaan yang nyata dan bermanfaat untuk PT Flobamor (pada khususnya) dan Indonesia (pada umumnya) berdasarkan bukti audit yang kuat selama waktu pemeriksaan di lapang. Dalam Nama Yesus. Amin. 🙏🏻🤞🏻
I believe I have learned something today, and God has personally plus gently taught & spoken to me this morning. I pray that it also goes the same for you.
We always thank Jesus Christ for his eternal love and passion toward us, including the people in NTT. This English Class program manifests one of his eternal passions for NTT.
We are thrilled to finish the English Class in September 2022. We pray the program can actively participate in upgrading the quality of NTT Human Resources, particularly kids. Also, we earnestly pray that every piece of knowledge we share in the class easily applies to real life.
Further, we truly thank kids, parents, facilitators, and volunteers - Lisa (C3 Church Edinburgh) and Aakanksha Jain - who have been involved in making this program happen.
Thank you and Jesus blesses us.
Gereja Mawar Sharon Kupang
Bonjour! ça va? Je vais très bien et j'espère que vous aussi. 你好吗. 我很好,希望你也是 (Nǐ hǎo ma. Wǒ hěn hǎo, xīwàng nǐ yěshì)
Kangen juga ngobrol melalui tulisan dengan siapapun di luar sana. Di tengah-tengah kegiatan yang cukup menyita waktu, aku ambil 10 menit untuk buat postingan ini.
Ohya, sebulan belakangan ini aku lagi menekuni dua bahasa baru (1) la français dan (2) 中文. Thanks to Duo Lingo yang ngebantu aku buat belajar bahasa dengan materi yang menarik dan tanpa bayar (grahtis). Dengan mengalokasikan 30 menit setiap hari, aku berharap sih, akhir Tahun 2022 ini (Desember 2022) aku sudah lulus level pemula (beginner).
Sebenernya Tahun ini aku berdoa dan berusaha buat bisa lulus sertifikasi Akuntan (Chartered Accountant/CA) sehingga aku akhirnya dapat Nomor Registrasi Akuntan. Biaya investasinya cukup mahal, sekitar 8 jutaan dan sayangnya belum ada tanda-tanda bakal dapat donor dari kantor (yakali!) atau pakai uang THR aja ya :D Selain itu, persiapan untuk Sertifikasi itu juga cukup menyita waktu. Tapi, teteup. Aku berdoa dan berusaha supaya akhir Tahun 2022 ini (In the name of Jesus) aku beneran lulus Sertifikasi CA.
Terakhir nih, aku pingin banget ceritain kebaikannya Tuhan Yesus dalam hidup aku akhir-akhir ini (Tanpa aku ceritain, Yesus sih emang udah by default baik bingits ya). Tapi, aku beneran mau ambil kesempatan ini buat ceritain kebaikannya Yesus.
Jadi di awal Tahun itu, aku pingin banget punya Alkitab Cetak dengan versi selain Terjemahan Baru, NIV, NIrV. Terus, aku pilih Amplified Bible version di shopee. Eh aku digerakkan buat cari versi yang lain, dan akhirnya masuk jugalah versi The Message di keranjang shopee ku. Udah selese liat-liat, akhirnya aku checkout.
Sayangnya, Amplified Bible dibatalkan oleh shopee karena udah tiga hari si penjual ga kirim2. Finalnya, aku dapet Bible versi the Message. Seriusan, aku jadi seneng banget ngobrol bareng Tuhan Yesus melalui Surat Cintanya versi The Message. Bahasanya sangat ringan dan everyday language. Jadi tuh beneran kayak ngomong daily sama Tuhan Yesus. Sesederhana itu aku mendefinisikan kebaikan Tuhan Yesus dalam hidupku.
Udah lebih dari 10 menit nih, lain kali kita cerita ya.
Kalau temen-teman lagi sibuk apa? Sehat kah?
Apa pun yang jadi tantangan di dalam kehidupan temen-temen, baik tantangan yang bikin seneng atau yang hampir meremukkan tulang, aku berdoa agar temen-temen bisa menjalaninya bersama dengan Tuhan ya. <3 Amin
Terakhir, aku mau share Firman Tuhan di beberapa kalimat pembuka di chapters kitab Leviticus, "God spoke to Moses..." Aku berdoa Tuhan juga semakin berbicara ke aku, temen-temen semuanya, dan kepada siapa pun yang mau ngobrol sama Tuhan.
Reading & watching time = 20 mins | Number of words = 897
A. Introduction
Horas.
I'm super excited to share our experience to join the English Debate Competition commemorating the 74th birthday of Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Despite the fact that we didn't make it to the semifinal, we still enjoy the benefits of this Competition, especially me.
Here are, at least, 2 benefits of participating in the English Debate Competition:
1. This is my very first time joining a debate competition, so, yes, I gain an initial understanding of 'what debate' is. I learned a lot from 'The World Schools Debating Championships' and tried to imitate their way to debate particularly Canada Team.
2. I had a chance to work together with Winda Octora and Christoper Sitompul, and I absolutely appreciate their effort, regardless of their expertise in English or in constructing the debate script. I am looking forward to collaborating with them on other projects.
Further, I shared our script here as my online document. And I really hope to keep growing in my debate ability including my public speaking capacity.
B. Script of KakaNonaTenoon
Panels, in order to assess the effectiveness of the work-from-home system to reduce the spread of COVID-19, particularly in the absence of disclosed data, we have to analyse whether work-from-home is much better than work-from-office.
We are aware that the COVID-19 can be directly and indirectly transmitted in the BPK office area. However, the risk of exposure to COVID-19 has been assessed by the BPK board of management.
According to BPK Circular Letters, the risk for exposure to COVID-19 was high from March until May 2020, when BPK implemented a full work-from-home system. Further, from June 2020 onwards, the risk for exposure to COVID-19 in the BPK office area was considered to be moderate which is presented by 75% of the work-from-home policy.
However, based on recent empirical evidence that, whether we are in the family or in the office, and even whether we are in the western part or the eastern part of the globe, no-one in nowhere is immune to COVID-19. Therefore, this risk for COVID-19 exposure is always there, whether we are the home-workers or the office-workers of BPK.
On side opposition, we do not consider a work-from-home system as an effective way to decrease the spread of COVID-19 in the BPK office area. And for those reasons, we are incredibly proud to oppose.
First, we construct a model, followed by one constructive argument which is how work-from-home and work-from office make no substantial difference in exposure to COVID-19.
First on our model.
‘Work-from-home’ is the arrangement for BPK's employees to work from home based on their current placement. Firstly, work-from-home was compulsory for all BPK employees from March to May 2020. In June 2020, BPK adopted downscale work activities by determining 75% work-from-home.
According to all circular letters, all employees are required to conduct health protocols, for instance, physical distancing, regardless of their working system. However, there is no clear measuring instrument that how to measure 1-metre away and, also, no clear punishment what if the employee does not maintain 1-metre away with others. This can be a loophole in the efficacy of the work-from-home system to decrease the spread of COVID-19.
In our world, the loophole in the design of the work-from-home system is unfortunately exacerbated by low-level people’s self-awareness on health protocols. Please be informed that self-awareness indicates a level of commitment to consistently promote health protocols when either work-from-home or work-from-office.
Second, on our constructive argument, how work-from-home and work-from office make no substantial difference in exposure to COVID-19.
According to a survey conducted by UNICEF and Nielsen, only 31 percent of Indonesians have simultaneously implemented the “3M” health protocols. The study showed that implementing wearing a mask or maintaining distance only is not sufficient to prevent COVID-19. Consequently, the low-level awareness to comply with the health protocols, as shown by the survey, make no difference, whether we work-from-home or work-from-office.
What is more, a study from The British Infection Association, for instance, presented that the infection risk of household contacts is 10 times higher than other contacts. This evidence implies that even when we work from home, COVID-19 exposure is always there. Besides, a work-from-home arrangement indirectly induces human mobility due to the lax oversight from supervisors. At least, while work-from-office is implemented, the workers are more easily monitored to keep in the office from 8 to 5.
Generally, the number of confirmed cases in Indonesia still continues to rise in 2020. During those periods, a work-from-home system was implemented at BPK. Therefore, to reduce the COVID-19 cases, does not only shift ‘where’ the employees work, but more importantly to what extent the health protocol is strictly enforced regardless of where they are working.
So, we understand neither the office nor home can keep you away from the spread of COVID-19. For those reasons, we're very proud to oppose.
C. Self-assessment of our performance
1. We shouldn't construct the model, instead, we are supposed to build more arguments.
2. I explained too fast. I need to learn how to slow down my speaking pace.
3. I missed mentioning the 'bridging sentence' when my transition (as the 1st speaker) to Winda Octora (as the 2nd speaker).
D. Acknowledgement
This debate (KakaNonaTenoon team) could not be possible with the support of Pak Jasier Goerbada, as the head of HR sub-division at the BPK East Nusa Tenggara Regional Office.
Reading & watching time = 3 mins | Number of words = 582
Horas, everyone. 👐
Hiya, people. 🤗
Hi, colleagues.
I'm incredibly thrilled staring at my Degree Certificate from the University of Edinburgh which I accepted on December 10th, 2020. To me, it is the official point to be awarded as an MSc graduate. 🎓
To celebrate this achievement, there was a virtual graduation ceremony held by the Business School on Dec 11th, 2020. Further, I was given an opportunity to post my thank-you note as a part of the ceremony. However, it is only a 150-word note which absolutely fails to give credit to every single person who supports me in pursuing this degree.
Therefore, I humbly extend my gratitude to these lovely and great people who made the MSc journey possible. They are as follows.
1. 💑Wilmart Gultom, the one and only spouse of mine. I genuinely thought that he is an awesome husband. Without his consent, I would never have the chance to pursue this degree.
2. 👩👦Jonathan Willian Gultom, the only son of ours. He was 8 months while I started the programme. Unfortunately, he was nurtured by his oppung (read: grandparents) for about seven months (September 2019 - March 2020). Thanks to video call as the best enabler to keep connecting mom-and-son relationship.
3. 👨👩👧 Esmerita Aritonang Rajagukguk and Tutur Parulian Pasaribu, as my most (forever) wonderful parents in the world. Their absence in the world does not mean lacking in their influence in my life. Their teachings surely shape me as I am today. Mauliate Mamak & Bapak!
4. Marthalena Tampubolon, my mother-in-law, and Williater Gultom, my father-in-law. They were so fascinating. They have been super helpful, particularly helping me out to take care of Jonathan Willian Gultom.
5. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (Indonesia Endowment Fund for Education), my sponsor. Beyond the monetary value of (approx.) Rp761,238,000, I took this finest window of opportunity to practically upgrade my capacity, both as a person and as a civil servant. I am completely indebted to LPDP, as the representative of all Indonesians. I am then endeavouring to obtain a full scholarship from LPDP as well in 2026 pursuing a DPhil in Management at Saïd Business School, Oxford University.
6. Badan Pemeriksa Keuangan (The Audit Board of the Republic of Indonesia), my employer. The study permit enabled me to take paid study leave for about one year. Afterward, I am obliged to devote my capability as a state auditor at the Audit Board of the Republic of Indonesia.
7. Eko Sidtong Pasaribu and Joshua Maruli Tua Pasaribu, my lovable younger (biological) brothers. Their immense support is priceless for me. Also, for my older sister, Ervina Agusdiyar, and the team.
8. PPI Edinburgh, Keluarga Kristiani Edinburgh, Kelompok Pendalaman Alkitab Wanita Edinburgh, C3 Church Edinburgh, especially for Arvinda Lubis and Anastasia Candra Dewi, for the healthy and encouraging and caring community I was involved during living in Edinburgh.
9. Class of 2020, Accounting and Finance in particular. I am honoured to be a part of your master's journey. Special thanks to Aroma Patria Perdana, Aakansha Jain, Ghaida Khalid Alhoosani, Lewis Fry, Omar Alkous, Pitchayamon Vanichipat, Yidan Feng, Wanwarat Poomsrisaard, Arisha Lleshi, Nathan Lalonde, and Mouna Yaha.
10. Tom Brown, my super helpful and thoughtful supervisor.
11. The lecturers: Maria Michou, Wenxuan Hou, Woon Leung, Yue (Lucy) Liu, Elisa Henderson, Stephen Walker, Ingrid Jeacle, Sebastian Hoffmann, Marian Gatzweiler, and Christine Cooper.
12. GBI Kupang Baru, Cool Sinai, and all warmhearted people in Kupang for their unstoppable support for Wilmart Gultom and me.
13. Fresnel Simon Jahya Papia. Yes, you're the best inner circle.
But above all, first and foremost, I fully dedicate my degree to the one and only Beautiful Saviour of mine, Jesus Christ. To Him be the glory, for He has been so good to me.
I want to thank (even) the strangers whom I met during my back-and-forth trip from Indonesia - Edinburgh - Indonesia - Edinburgh 😂.
I am so grateful, indeed. 👩🎓
May God also bless you abundantly! Talk to you later. 🙋♀️
I do re-post this article to share how impactful concise communication is.
Key takeaways:
1. If you're over-explaining concepts, presenting too much information, or trying to be someone you're not, you're likely to lose attention quickly.
2. Concise communication requires preparation. Nail down one takeaway you want to convey and eliminate fluff from every form of communication, including presentation, emails, and conversations.
3. If you have to communicate on the fly (you do it quickly), use the PREP framework — point, reason, evidence, and point — utilise bridging and flagging statements to connect the core subjects you want to highlight, and ask questions.
Here are 9 ways to communicate clearly and effectively.
1. Prepare in advance
Without preparation, you can't be brief. Before any important meeting, take five minutes to review the agenda and other provided materials. Jot down notes for yourself. Organise your thoughts and earmark where you want to contribute.
If you'll be speaking, go through the extra steps of creating talking points and anticipating objections and questions. I like to have my clients prepare a few "frequently asked questions" to have in their back pocket, just in case there's silence at the end of their presentation.
2. Provide a pre-read
If you have a lot of information to share, consider preparing a pre-read. This is a document that provides background information on a topic. It means you can give your audience needed context and then be briefer in your time together. A pre-read may be reports, slides, or detailed analytics.
3. Complete the sentence, "If you walk away from this conversation with one thing, I want it to be ______."
If you were forced to boil down your main idea to one sentence, what would it be? Use this as the subject line of your email or repeat the phrase verbatim when you speak. It'll ensure you're drawing your audience's attention to the biggest takeaway you want them to remember.
4. Use the PREP framework
When you're forced to speak impromptu, you can speak strongly and coherently using the PREP framework. Here's how it works: Make a point succinctly, back it up with a reason, provide evidence, and end by reiterating your point. For example:
Point: I believe we should take direction A
Reason: We've received positive feedback about this approach
Evidence: For instance, our president said he supports it
Point: That's why I believe direction A is best
5. Use bridging and flagging statements to highlight and punctuate your points
Flagging and bridging refer to two PR tactics that you can take into the boardroom. Flagging is like sticking a flag in the ground or waving one in the air to say, "pay attention — this is important!" Whereas bridging helps you make a transition from one idea to another. Bridging is especially useful when you want to change the subject or steer the conversation in a different direction.
Examples of flagging statements are:
It all boils down to…
The heart of the matter is…
I can't underscore enough…
Examples of bridging statements are:
I cannot speak to ____, but what I can say is…
While ____ is important, it's also important to remember that…
Before we leave this subject, I'd like to add…
6. Know your audience
Consider what concerns and objections are top of mind for the people you're communicating with. What do they care about the most? What problems are they trying to solve? Most importantly, what's in it for them if they listen to you? How will what you are sharing with them help save them time or make their job easier? Frame your message in terms of how it impacts your audience.
7. Ask questions
Oftentimes concise communication is about saying nothing at all. You need to listen first. Specifically, ask plenty of open-ended questions like:
What do you make of what I've shared?
What do you think is best?
How does this look to you?
What would you add or change?
How do you feel about it?
What's your impression of X?
How does this fit into your plans?
What part is not yet clear?
Can you say more?
What is an example?
What support do you need?
8. Edit your emails
A good rule of thumb: emails shouldn't be more than five lines. If your email is longer than that, condense it down or make it a phone call.
Make sure your message is scannable. That means short paragraphs and sentences. Use bullet points and numbering to make the text easier to digest.
9. Eliminate fluff
Hedging language, such as "I just wanted to check in" or "Could we maybe find a time to chat?" minimise the power of your words.
With concise communication never more important than now, it's important to first recognise why you're struggling to be concise. Then take these steps to communicate clearly and effectively to be the respected leader you deserve to be.
I wanted to take a moment to say happy wedding anniversary to my most lovable and respectful man on Earth, Mr. Wilmart Gultom. It's been three years, after tying the knot in 2017.
As iron sharpens iron, so we sharpen each other (Proverbs 27: 17). You have been shaping me to be a much better person than I was before, and I hope you feel the same.
This year, we exceedingly succeeded to pass through the most challenging moment; being apart for almost a year. But thanks to the challenge, it made us personally encounter Jesus, in our marriage and family journey. We are absolutely so grateful to have Christ as our Saviour.
Let's enjoy the upcoming years, love!
For those who are currently waiting for his/her designated life partner from God, do please keep waiting for and preparing. Like God has never failed me, He also never fails to show His chosen one for you, dear friends.
Tahun lalu, saya cukup sulit mencari informasi mengenai biaya hidup kuliah di Inggris, lebih tepatnya, di Scotlandia. Oleh karena itu, saya sekarang berbagi tentang pengalaman saya ketika berkuliah di the University of Edinburgh dengan harapan memberikan manfaat bagi teman-teman yang sedang mengumpulkan informasi, khususnya mengenai keuangan.
Jadi, jawaban atas pertanyaan, "Cukupkah beasiswa LPDP untuk kuliah di Edinburgh?" adalah YA SANGAT CUKUP. Cukup untuk bayar SPP, makanan, sampai cukup beli jajanan kantin yang lumayan mahal (buat saya, hahaha).
1. Pos penerimaan
Sesuai dengan Buku Panduan Pencairan Keuangan Beasiswa 2019, saya memperoleh dana hidup bulanan (living allowance/ LA) luar negeri GBP1,050. Dana ini diterima per tiga bulan, yaitu pada Bulan September 2019, Desember 2019 dan Maret 2020. Untuk Juni 2020, saya memperoleh LA dalam negeri sebesar Rp4,000,000 per bulan karena saya sudah berada di Indonesia.
2. Pos pengeluaran
Pada bagian ini, saya hanya berbagi tentang item pengeluaran saya selama di Edinburgh pada periode September 2019 sampai dengan Mei 2020. Pos pengeluaran terbesar adalah akomodasi atau tempat tinggal. Saya menyewa akomodasi milik the University of Edinburgh dengan fasilitas yang cukup memadai, namun tetap paling murah (menurut saya). Saya tinggal di Morgan Court, Building 4, Flat 8, Room B. Setiap bulan, biaya akomodasi yang harus dibayar adalah GBP651.48 (62.1% dari LA).
Selain itu, pos pengeluaran pertama yang sebenarnya paling penting adalah perpuluhan dan persembahan, yaitu GBP110.59 (10.5% dari LA). Saya berjemaat di C3 Church Edinburgh selama saya di Edinburgh.
Selanjutnya adalah pulsa. 1% dari LA (GBP10) saya alokasi untuk beli pulsa setiap bulan. Saya menggunakan kartu Giffgaff selama di sana dan tidak pernah menghadapi kendala komunikasi. Lagipula, mobilitas saya adalah Kampus dan Akomodasi yang pastinya sudah memiliki wifi yang super cepat. Ketika saya berada di luar area tersebut, saya jarang menggunakan koneksi internet. Oleh karena itu, saya memilih paket yang paling murah (yang murah aja skitar IDR200,000 - hiks).
Terakhir, pos pengeluaran yang sangat esensial untuk keberlangsungan hidup adalah makanan. Saya biasanya membelanjakan dana beasiswa sebesar GBP277.93 (26.5% dari LA) untuk membeli bahan makanan dan makan di beberapa restoran yang terjangkau. Lidl menjadi supermarket yang sangat ramah dikantong untuk belanja bahan makanan. Saya sering ke Lidl yang berada di 56-58 Nicolson St, Edinburgh EH8 9DT. Seriusan, Lidl menjual barang dengan harga terjangkau di Edinburgh. Di samping Lidl, saya juga sering belanja ke Tesco Metro di 94 Nicolson St, Newington, Edinburgh EH8 9EW. Kedua stores itu menjadi sangat berjasa menyediakan bahan makanan yang terjangkau. Ohya, perlu dicatet, ada juga Sainsbury's Local (52 Nicolson St, Edinburgh EH8 9DT), tapi harganya lebih mahal dibanding dengan dua stores kesayangan aku, Lidl & Tesco Metro.
Kalau saya lagi berhalangan untuk masak, saya memilih untuk makan di Restoran Kampong Ah Lee (28 Clerk St, Newington, Edinburgh EH8 9HX) karena porsinya besar sehingga bisa dibagi 2 kali makan (hahaha) dan harganya yang terjangkau GBP10 sekali makan. Jika dalam bentuk pie chart, mungkin pos pengeluaran bulanan mahasiswa di luar negeri (seperti saya), adalah seperti berikut.
Tujuan postingan ini adalah untuk menjelaskan dengan ringkas peran LPDP dalam meningkatkan kompetensi saya melalui pendidikan Master in Accounting and Finance di the University of Edinburgh, United Kingdom. Peran tersebut disampaikan melalui tiga poin di bawah ini.
1. Fasilitas pendanaan cuma-cuma. LPDP memberikan saya beasiswa untuk menempuh jenjang pendidikan Master selamat satu tahun. Perkiraan total beasiswa yang diberikan oleh LPDP untuk pendidikan Master saya adalah sebesar IDR761,238,000. Investasi tersebut dibayarkan dalam bentuk IDR41,113,000 dan GBP41,150 (Untuk kalkulasi biaya, saya menggunakan perkiraan nilai tukar IDR17,500/GBP). Rincian pendanaan tersebut adalah sebagai berikut:
Dana tiket dari Indonesia ke Edinburgh = IDR19,113,000 (Maskapai: KLM)
Tunjangan buku = IDR10,000,000
Dana tunjangan hidup Luar Negeri = GBP9,450 (9 bulan * GBP1,050 per bulan)
Dana tunjangan hidup Dalam Negeri* = IDR12,000,000 (3 bulan * IDR4,000,000)
Dana kedatangan = GBP2,100
Biaya kuliah = GBP29,600
Beasiswa sebesar IDR761,238,000 tersebut di atas sangat mendukung perkuliahan dan kebutuhan hidupsaya selama satu tahun menempuh jenjang pendidikan Master ini. Selain itu, beasiswa diberikan secara tepat waktu oleh LPDP sehingga memperlancar proses perkuliahan saya.
2. Kompetensi. Peningkatan kompetensi yang saya lakukan meliputi teknis Accounting and Finance dan non-teknis Professional Development. Dalam hal kewajiban akademis, saya telah menyelesaikan Master Accounting and Finance 180 kredit dengan predikat Graduate with Merit. Award ini menunjukkan bahwa saya telah berhasil mempertanggungjawabkan setiap Rupiah beasiswa yang saya terima. Saya sepenuhnya menyadari bahwa predikat tersebut bukanlah akhir dari bentuk tanggung jawab saya kepada Negara, melainkan sebuah awal dari kontribusi yang lebih besar melalui peran saya sebagai ASN.
Selain itu, saya telah memperoleh Edinburgh Award dalam pengembangan profesional, khususnya dalam (a) Effective Teamwork, (b) Verbal Communication and Presentation, dan (3) Knowledge Integration and Application. Ketiga keterampilan ini meningkatkan kapasitas saya untuk bekerja sama dalam tim, baik skala besar mau pun skala kecil, melalui komunikasi yang kooperatif dan integrasi pengetahuan yang aplikatif.
3. Eksposur. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Sri Mulyani, bahwa beliau belajar dari exposure yang lebih dari sekedar pengetahuan yang terdapat di text books. Exposure selama di Edinburgh membuka wawasan saya tentang dunia global, seperti cara membangun hubungan dengan teman dari negara lain, cara menyampaikan ide di ruang kelas dan meeting, termasuk independent problem solving atas setiap kendala yang terjadi di sana. Saya percaya bahwa pengenalan akan exposure inilah yang semakin akan membentuk saya menjadi ASN dengan kontribusi yang signifikan, khususnya di bidang pemeriksaan.
This journey is totally both rewarding and challenging in equal measure. Terima kasih LPDP. Terima kasih bagi seluruh masyarakat Indonesia. Saya berutang lebih dari sekedar nilai moneter sebesar IDR761,238,000. Sekali lagi, terima kasih.
Salam hangat | Indah Pasaribu
___
* Per Juni 2020, saya memperoleh Dana Tunjangan Hidup Dalam Negeri karena saya sudah berada di Indonesia
Kita semua percaya bahwa kualitas SDM itu penting. Dia strategic. There’s no question about it.
Selamat sore untuk seluruh para peserta LPDP, baik yang sedang melaksanakan
tugas belajar, atau para alumni, atau yang sedang mempersiapkan,
Pertama, saya ingin menyampaikan selamat kepada Anda semua sebagai
sekelompok kecil masyarakan Indonesia yang mendapatkan suatu fasilitas dari
negara untuk bisa meneruskan dan mencapai cita-cita paling tidak di bidang
pendidikan, yaitu mendapatkan pendidikan di level tingkat universitas, atau
bahkan di atas sarjana, yaitu pasca sarjana. Tidak semua tahu bahwa sumber daya
manusia adalah aset yang paling berharga dari suatu negara, suatu institusi,
suatu korporasi, suatu keluarga. Apa pun kalau kita memiliki sumber daya
manusia yang baik, kalau itu ditingkat paling kecil, keluarga, ya berarti
keluarganya pasti akan, tidak hanya bangga, tetapi juga bisa memenuhi seluruh
aspirasi untuk, apakah dia ingin menjadi orang berguna, menjadi orang yang bisa
membuat inovasi, atau bahkan ingin menjadi kaya juga.
Kalau dia di tingkat korporasi, korporasi yang memiliki SDM yang bagus, dipastikan
dia akan makin bisa kompetitif, melihat perubahan, meningkatkan dan kemudian
dia akan bisa menjadi juara di bidang industrinya. Kalau di bidang negara, ya
berarti kalau kita memiliki sumber daya manusia yang baik, kita akan memiliki
suatu negara yang kuat, yang tadi disebutkan, apakah bisa berinovasi, berkreasi
tidak hanya mencari kerja, tetapi bisa menciptakan kerja, kompetitif,
produktif, kalau kita menggunakan teori pertumbuhan ekonomi, itu biasanya kita
menggunakan faktor produksi Labour dan Capital, tetapi labour dan capital itu
dicombine untuk meningkatkan produktivitas adalah, biasanya dengan teknologi.
Dan kemampuan untukbisa meningkatkan
produktivitas Labour dan Capital sangat tergantung pada kualitas SDM lagi.
Jadi mau kemana saja, kita akan kembali mengatakan bahwa SDM itu penting.
SDM itu esensial dan komitmen politik kita sangat tinggi. Semenjak era
reformasi, kita selalu mengatakan bahwa Indonesia ingin mengejar ketertinggalan
terutama di bidang pendidikan. Dan oleh karena itu, waktu di era reformasi,
yaitu sesudah presiden Soeharto mundur dan munculnya era reformasi, kita
mengubah undang-undang dasar kita. Kita mengubah konstitusi, bukan
undang-undang, konstitusi, which is
ga bisa di-produce setiap tahun gitu.
Konstitusi kita dengan satu-satunya bidang aktivitas yang di-earmarked, yang harus disediakan
anggarannya itu hanya pendidikan, yaitu harus 20% dari anggaran. “No matter what,” katanya. Ya kan! “No matter what.” Mau kondisi APBN-nya
lagi kempes, lagi besar, ekonominya lagi boom, lagi buzz, lagi kita menghadapi
covid, itu tidak boleh dikompromikan, anggaran pendidikan harus tetap 20%, itu
dikonstitusi kita.
Nah ini berarti, kalau kita mau bicara Indonesia, kita sudah apa yang
disebut political will besar,
konsitusional explicitly menyebutkan
pendidikan adalah nomor satu. Jadi sekarang Indonesia itu ditantang, oke kalau
sudah punya political will, ada
determinasi, sudah ditulis dikonstitusi adalah it’s up to us, kita semua ini, masyrakat Indonesia, generasi muda,
para policy maker di dunia pendidikan
untuk menerjemahkan komitmen dan political
will itu menjadi result, kan gitu
kan. Kalau ga, ya dia akan menjadi retorika politik. SDM penting, pendidikan
itu harus prioritas, terus kita mengalokasikan 20% seperti konstitusi kita
meminta atau menginstruksikan, mewajibkan, namun kita kemudian kecewa semua.
Itu satu.
Jadi, ini starting point. Ini
saya berbicara dengan orang, semuanya temen-temen di LPDP itu bukan orang
sembarangan. Anda orang-orang yang sudah disaring, Anda adalah orang-orang
pilihan. Jadi saya tidak bicara dengan Bahasa biasa sama Anda. Anda adalah
manusia yang memiliki tanggung jawab besar terhadap Republik ini.
Sekarang kita bicara tentang bagaimana kita bisa men-translate politicalwill dan
determination tadi dari konstitusi
kita dengan anggaran 20% menjadi results,
menjadi hasil. Nyatanya, waktu saya menjadi menteri keuangan sejak Tahun 2005,
saya menjadi menteri keuangan sampai sekarang, saya masih constantly concern apakah anggaran pendidikan 20% itu sudah kita
gunakan dan kita kelola sebaik-baiknya, kan kayak gitu. Ini saya sebagai
menteri keuangan. Makanya waktu Nadiem jadi menteri, dia yang termasuk pertama
kali bilang mau jadi menteri, “saya mau jadi menteri asal saya bersama ibu
Menteri Keuangan yang selalu berbicara tentang pendidikan meskipun dari sisi sudut
keuangan.” Makanya kita banyak bicara.
Pak Nadiem termasuk menteri, sedikit menteri, yang datang khusus ke saya,
apa sebetulnya, tadi yang disampaikan mas Nadiem tadi, ide-ide reformasinya dan
apa tujuannya. Dan saya memberikan ruang seluas-luasnya. “Ok, saya pingin
denger,” karena ini adalah concern
kita semuanya. Tahun 2020 waktu kita ditengah-tengah menghadapi covid, dimana
kita mengeluarkan belanja untuk prioritas utamanya adalah covid, kita masih
mengalokasikan pendidikan itu tetap dipertahankan 20%, 547 triliun. Jadi waktu
anggaran belanja kita makin gede karena ada covid, covid nambah kan, kita
berikan anggaran sampai 80 untuk kesehatan. Untuk bansos kita tambahkan 210
triliun, untuk UMKM 115 triliun. Jadi setiap kali kita nambah belanja,
pendidikan dapet 20%, gitu ya. Bayangin ga sama Anda semuanya?
Dulu selalu saya katakan, “loh kalo gitu, setiap kali anggaran nambah, dan
pendidikan Anda ga harus bikin proposal, karena sudah ongkang-ongkang pasti dapet
20%.” Itu bisa jadi downside risk
untuk kita semua. Itu bisa jadi risiko bahwa kita menjadi complacent, wah anggaran itu pasti disediakan dan diprioritaskan
dan kita kemudian tidak sensitive dan
bekerja keras untuk menyakinkan bahwa anggaran itu bisa digunakan
sebaik-baiknya dengan hasil yang sebaik-baiknya. Maka, semenjak tahun 2008
2009, ide saya untuk membuat dana abadi itu karena saya khawatir. Kalau setiap
tahun harus dialokasikan dan harus habis, terus tiba-tiba kita ga siap dengan
program kita. Maka waktu itu saya mulai, “kita bikin aja dana abadi.” Kalau
anggaran pendidikan yang dinaikkan 20%, setiap kali anggaran naik.
Umpamanya, anggaran kementerian pertahanan naik, maka 20% harus
dialokasikan untuk pendidikan. Padahal yang selalu melakukan program pendidikan
ga selalu siap untuk tambahan output 20% lagi ya. Nah daripada ini menjadi
sesuatu yang tidak menghasilkan sesuatu yang dipikirkan matang, kita tampunglah
dalam sebuah dana abadi. Jadi, ga harus selalu habis dalam tahun anggaran
karena kalau kita mengelola APBN, saya juga terikat dengan Undang-Undang
Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan diaudit oleh BPK, kemudian kita
pertanggungjawabkan ke DPR, ya kan kayak gitu. Nah itu berarti setiap tahun,
“Berapa dana Belanja, dan berapa dana yang betul-betul untuk pendidikan.”
Itulah kemudian muncul cikal-bakal ide dibentuknya dana pendidikan abadi,
yang kemudian menjadi LPDP. Itu satu. For
very pragmatic but strategic reasons. Pragmatic reason, ya saya tahu ini
anggarannya akan naik terus dan kemudian saya lihat tidak selalu seluruh
kementrian lembaga dan pemerintah daerah itu siap, paling mudah dan paling
cepet proposalnya adalah bikin sekolah, bangunan dulu, itu paling gampang.
Kedua, ya mungkin beli-beli alat. Makanya kan banyak juga sekolah yang bagus,
diganti-ganti terus. Ada sekolah yang bagus malah ga dapet. Itu juga masalah
alokasi. Tapi, kita melihat bahwa ini tidak selalu siap untuk mendesain belanja
negara yang baik. Nah, dengan adanya LPDP, kita memulai suatu tradisi bahwa
anggaran tidak harus habis tetapi kita kelola untuk menjadi dana abadi untuk
generasi yang akan datang.
Sekarang persoalan kedua adalah strategi menggunakan LPDP ini. Dimulai
dengan 1 triliun waktu itu idenya very
simple, saya sebagai menteri keuangan, yang kata Mas Nadiem tadi dia pergi
ke luar negeri, kemana-mana, saya sudah sekolah di luar negeri, sudah tinggal
di luar negeri, saya menjadi menteri keuangan. Saya ketemu sama menteri
keuangan di ASEAN saja, tiba-tiba ngomong sama menteri keuangan Malaysia,
Singapore. Mereka dengan bangganya cerita, “Uh, saya ngirim 100 orang di London
School of Economics, saya Singapore bilang saya mengirimkan di Hardvard, gitu.”
Terus saya balik lagi ke kementerian keuangan terus saya tanya, “berapa S3 di
tempat saya yang lulusan luar negeri?” waktu itu ga ada lima orang.
Terus saya merasa, “Loh, ini negara kita paling gede, tapi tetangga kita
udah ngirim orang-orang di universitas terbaik.” Itu sebagai ide awal. “Ya
sudah kalau kayak gitu, dana pendidikan abadi ini kita gunakan hasilnya untuk
nyekolahkan anak-anak kita yang terbaik. Supaya kita ga merasa Indonesia ga
punya orang yang sekolah di universitas-universitas terbaik di dunia. Waktu itu
saya ga pikir, harus ambil Science,
Medical, Economics, atau Finance,
whatever lah. Menurut saya, Indonesia itu kebutuhannya banyak banget. So,you
name it, gitu.
Nah, oleh karena itu sekarang dengan LPDP jumlah dananya makin besar karena
setiap tahun kita pupuk, maka kita bisa mengirim jumlah orang yang makin
banyak. Kalau menurut catatan dari pak Rio, yang sekarang ini sedang persiapan
keberangkatan saja, 1.162 di dalam negeri dan di luar negeri. Totalnya kalau ga
salah sudah mencapai lebih 20 ribu. 785 orang adalah laki-laki, 877 perempuan.
Saya seneng, keliatan sekali kali kalau perempuan dikasih kesempatan ke tingkat
yang lebih tinggi, nih porsinya lebih banyak perempuan, yakan. Kemudian yang
dialokasikan dari Sumatera 249, dari Jawa 1.041, Kalimantan 55, Nusa Tenggara
dan Bali 132, Sulawesi 123, Papua 30 dan Maluku 28. Yang mengambil PhD, Doktor
323. Yang mengambil dokter spesialis 54. Magister 1263. Yang regular 426, yang
afirmasi, dimana kita tadi kan ada pertanyaan dari daerah Timur Indonesia.
Afirmasi itu banyak sekali, ada yang dari pesantren, kami sedang mengalokasikan
untuk penyandang disabilitas, untuk Indonesia bagian Timur, untuk anak-anak
dari keluarga prasejahtera.
Itulah yang kita sebut dengan design dari policy tools kita. Karena jangan sampai orang dari keluarga miskin,
anaknya ga bisa sekolah, tidak diimunisasi, dia sakit, dia nanti tidak bisa
jadi anak yang baik. Makanya, dari mulai pendidikan usia dini, dari yang Mas
Nadiem bilang, supaya kita berpihak pada keluarga miskin, make sure bahwa the nextgeneration-nya ga miskin. Ya harus
dipotong itu tali kemiskinan antar generasi. Jumlahnya, pastinya akan terus
perlu ditingkatkan, tapi idenya dan cara kita bekerja memang perlu ke situ.
Termasuk kita juga memperbaiki mutu dari dosen-dosen karena, yang dikatakan Mas
Nadiem, banyak anak kita pengen meneruskan ke perguruan tinggi, tapi sesudah ke
perguruan tinggi dia tidak mendapatkan quality
dari education yang diharapkan,
apalagi yang diharapkan oleh industry. Sehingga waktu dia lulus makin tinggi,
bukannya makin mendapat pekerjaan, malah makin gap-nya gede. Dan itu bisa menimbulkan frustrasi karena dia merasa
sudah belajar tapi tidak fit dengan
kesempatan kerja yang ada.
Nah ini adalah persoalan-persoalan yang ingin saya bagi kepada Anda
semuanya. Dan anda kepada saya tidak boleh mempunyai attitude bahwa dia Menteri Keuangan harus menyelesaikan masalah
saya. Oh enggak. Saya tugasnya membagi masalah ini kepada Anda semuanya karena,
sama seperti Anda semuanya, saya dulu juga sekolah SMA saya ngambil di
Universitas Indonesia. Saya berkompetisi untuk mendapatkan beasiswa beasiswa
hanya sampai master, tapi saya mau nerusin untuk PhD. Saya harus bekerja untuk
meneruskan PhD saya balik lagi kerja keras. Harus pisah sama anak sama suami
selama satu tahun waktu membuat disertasi karena duitnya abis. Jadi kalau anda
bicara semua, “I’ve been through the same
stage,” seperti Anda semuanya. Dan sekarang saya sudah bekerja dan saya
diminta untuk menyelesaikan masalah Republik Indonesia, begitu. Jadi sama
seperti Anda semuanya, saya dilatih untuk menjadi orang-orang yang yang memberi
solusi kepada Republik. Dan Indonesia itu juga kalau masalah pasti banyak, tapi
yang punya ide untuk memecahkan masalah dan konsisten menyelesaikannya, itu
yang harus kita perbanyak. Saya minta LPDP itu adalah gudangnya orang-orang
yang tadi, yang enggak cuma komplain melihat kesana kemari, ada masalah terus
juga ngomongin aja. Tapi sekarang kita kerjakan aja yang anda bisa kerjakan,
dan sekarang kita akan coba buat.
Sekarang saya mau bicara kan tentang design
policy tadi. Kalau tadi Mas Menteri punya ide untuk pendidikan kita makin
bisa dimerdekakan dan dia percaya bahwa pendidikan kemerdekaan itu ada
interaksi, ada exposure, maka anda
tidak hanya belajar dari buku dan dari satu dosen di kelas. Dan Anda juga bisa
belajar dari exposure. Saya juga
percaya terhadap hal itu karena saya mengalami hal sendiri bagaimana saya
terekspos pada proses pendidikan saya. Dan itu membuka banyak sekali perspektif
dan pikiran serta ide kita, wawasan istilahnya. Kita nggak akan pernah
berpikir, “oh ternyata sekolah yang dikelola dengan baik itu bisa menghasilkan
hal yang baik.” tanpa kita bertanya.
Waktu saya lihat anak saya sendiri sekolah di Amerika, melihat bagaimana
mereka belajar baris untuk masuk sekolah, ke school bus-nya. bagaimana mereka turun dari bus-nya diatur masuk kelas dan bagaimana mereka dari SD itu sudah
pindah kelas. Kalau kelas saya di sini, kelas bahasa di sini. Jadi anak-anaknya
itu pindah-pindah gitu. Semua-semuanya memberikan perspektif kepada kita semua.
“Oh dia mengelola sekolah kayak gitu,” kita sebagai parents diundang waktu gurunya menjelaskan mengenai kemajuan anak
kita. Maka saya itu termasuk orang tua yang mengambil rapot anak saya. Kalau
mau ngambil rapot, saya datang ke situ. saya menteri waktu itu bukan karena
alasan saya sibuk, saya datang aja dan saya harus bicara dengan gurunya untuk
tahu kemajuan anak kita. Hal-hal yang semacam itu hanya akan terjadi kalau kita
terekspos. Nggak belajar dari textbooks. Kita terekspos sehingga kita
terbuka wawasannya.
Umpamanya kita bicara saya sering disebut oleh ibu Sri Mulyani selalu
bicara tentang inklusivitas, itu kan karena saya terekspos waktu saya sekolah
di Amerika. Saya melihat, “oh sebagai umat muslim di sana, waktu Christmas di mana-mana banyak sekali, di
mall banyak Christmas.” Tapi waktu lebaran, nggak ada apa-apa disana. “so you feel like minority.” dan kemudian
kalau ada teman kita menyapa, “Oh, kamu hari ini puasa ya? Oh, hari ini kamu
lebaran ya?” Dan mereka mengucapkan selamat oleh teman kita, kita merasa very happy.
Itu saya tidak usah di ajarin. Saya terekspos. Merasa diri sebagai. Sama
seperti kalau kita bekerja di laboratorium waktu saya menjadi teachingassistants. Oh saya berada dengan semua teaching assistants yang lain. Oh saya ngerti bahwa dosen cara ngajarnya
begini. Itu terekspos.
Artinya yang dikatakan Mas Nadiem tadi, kita kepengen mahasiswa kita itu
terekspos. Tidak melulu masuk dan kemudian mengumpulkan SKS, no matter how relevant sks-nya, dan
kemudian waktu dia lulus, dia masih harus mencari lagi ternyata tidak memadai
begitu. Belum kalau kita bicara tentang emotional
skill, social skill kita, leadership
skill kita, organizational skill
yang semuanya harus kita peroleh pada saat kita terekspos dengan berbagai hal.
Inilah yang saya ingin saya share
dengan anda semua.
Jadi kalau APBN 2020 kita membelanjakan 547 triliun, dan tahun depan kita another 550 triliun, itu ya. Kalau saya ingat, 550 triliun itu kayak
sebuah anggaran membuat ibukota baru loh. Iya kan. Jadi artinya kita
akan mengatakan bahwa hasilnya apa? Umpanya program. Kalau output
saya bisa menjelaskan kepada Anda,
karena
di APBN harus disebutkan, membelanjakan segini, outputnya apa. Maka kita selalu bisa bilang: ada 15,5 juta siswa yang akan dapat
beasiswa dengan dana tadi, ada 634 ribu yang akan mendapat beasiswa kuliah, ada
tujuh juta siswa yang
akan mendapatkan anggaran untuk biaya operasi sekolah, ada 528 sekolah yang
akan dibangun, ada 226 Madrasah dan sekolah keagamaan yang dibangun, ada 5,6
juta anak usia dini yang akan dibantu, ada tunjangan profesi guru untuk 838. Saya bisa menyebutkan semua output itu.
Tapi waktu anda tanya, bu output itu menghasilkan quality
atau results? That’s another thing. Dan untuk Anda
semuanya, saudara-saudara sekalian yang sudah masuk kedalam LPDP, anda harus menjadi
generasi yang sangat sensitif terhadap resultsdan quality.
It’s
not justquantityatau output,
tapi outcome.
Kami dengan
kementerian keuangan akan untuk mencoba untuk terus mengarahkan dan mengimpose atau
membangun sistem anggaran yang memaksa pengguna anggaran itu bertanggung jawab terhadap tidak hanya output, tapi
juga results. Kita bikinkan, gitu
kan, platformnya, templatenya. Dan kemudian itu menjadi tata kelola, menjadi
bisnis model penggunaan anggaran. Tapi yang
mengisi itu semuanya ya itu kita semua ini, Kementerian lembaga, Anda semuanya.
Dan kita akan terus-menerus
melakukan inovasi.
Umpamanya, contohnya
tadi kita sedang menghadapi covid
dan
semuanya work from home,
school from home, anggaran di
APBN nggak ada untuk
memberikan subsidi internet. Tapi ini
menjadi force majeur anda semua
harus di rumah. Maka kita
mengotak-atik anggaran supaya
direalokasi, yang ini belanja
ini dikurangi, dan dikasihkan untuk
internet. Giliran Mas
Nadiem yang harus mencari. Ada nggak nama muridnya dan nomor
teleponnya. Apakah nomor teleponnya dan internetnya dipakai untuk belajar, atau
dipakai untuk main game. Dan itu harus dipikirkan. Gitu kan. Dosen, guru, anak-anak sekolah, dari mulai SD, SMP, SMA, mahasiswa
semuanya sekarang diberikan apa yang
disebut kuota subsidi internet. Anggarannya 55
triliun. Untuk berapa juta orang? 51
juta siswa, 5,3 juta mahasiswa, 3,5 juta guru, 258 dosen. Itu yang kita coba untuk melakukan
berbagai macam, apa tadi, responsiveness
dan flexibility agar kita bisa juga
terus menghadapi tantangan yang kadang-kadang kita tidak siapkan, seperti covid ini.
Untuk tahun
depan kita juga mengalokasikan anggaran untuk, tadi yang teman-teman menanyakan
dari Indonesia Timur. Kita kita tahu bahwa sekarang konektivitas
menjadi suatu kebutuhan yang basic. Orang tidak bicara
orang, kalau dulu bicara tentang sandang, pakan, papan, sekarang
konektivitas dan electricity itu
menjadi kebutuhan basic. Maka pemerintah mencoba untuk mencapai 100% elektrifikasi
kepada seluruh householdIndonesia. Dan 1 juta yang
terakhir itu biasanya yang paling sulit, dan juga untuk internet connection masih ada 12 ribu desa yang belum terkonek. Kita harus memikirkan kalau kita bicara telemedicine, 10.000 puskemas kita tidak semuanya
terkonek oleh internet. Maka kita harus
melakukan untuk bisa membangun infrastruktur ICT ini. Mulai tahun
depan ini termasuk yang paling besar anggaran untuk ditingkatkan, maksudnya
kenaikan yang paling besar untuk anggaran di bidang ICT ini.
Tadi pertanyaan
mengenai dana abadi. Dana Abadi kita untuk LPDP mencapai 51 triliun, itu Kuartal ketiga. Tahun ini tahun tutup tahun kita harus
tetap mengalokasikan untuk sebagian untuk LPDP.
Kemungkinan sudah akan mendekati 60
triliun. Dan seperti
bapak presiden waktu beliau kampanye ingin memberikan dana abadi untuk
universitas, untuk penelitian, untuk kebudayaan, kita mulai melakukan itu. Penelitian dari tahun sebelumnya, kita sudah mulai dari satu triliun. Walaupun di
dalam dana LPDP, ada dana untuk
penelitian juga, ya kan. Tapi saya
sekarang kita diminta DPR untuk membuat dedicated untuk penelitian. Kemudian kebudayaan, Indonesia sebagai suatu negara yang
besar yang bermartabat, beradab menjadi
manusia seutuhnya maka kita membuat dedikasi
untuk
anggaran ini. Serta untuk
mendorong universitas-universitas di Indonesia bisa masuk menjadi the best
one hundred universities di seluruh dunia,mereka nggak akan mungkin kalau nggak ada
endowment
fund. Kalau
anggarannya tergantung tergantung APBN alokasi dari kami, maka dia diperlukanlah suatu anggaran.
Nah sekarang saya dan Mas Menteri
sedang
berfikir, “Gimana caranya
pengelolaan anggaran itu dan what is the best use of it?
How?” Makanya tadi Mas menteri bilang kita akan bikin berbagai
macam, tadi, lomba atau kompetisi. Kalau Anda bisa matching teman universitas terbaik dunia atau Anda matching dengan
industri maka kita akan bisa memberikan grant. Ini supaya Universitas ga hidup hidup apa yang disebut menara Gading. Dari dulu saya menjadi mahasiswa
juga sering disebutkan, Universitas jangan menjadi menara Gading, seolah-olah
kita di hidup sendiri dalam sebuah komunitas atau sebuah dunia tersendiri, sementara
rakyat dan masyarakat atau perekonomiannya detach. Kita harus membuat dia sebagai higher
level pendidikan, education, dia adalah bagian dari solusi
bahkan untuk meningkatkan
inovasi, kreativitas,
produktivitas. Dan itu
berarti, engagement dan exposure harus terus dibuat. Kalau zaman dulu namanya link and match, kalau sekarang namanya apa
saja lah, kalau disebutkan. Tapi kira-kira
memang idenya seperti itu. You can not stand alone. Anda harus blended dengan industri.
Nah saya ingin, bagian terakhirnya seperti ini, kalau Anda semuanya
merindukan, “oh dunia
industri harus berkembang.” Tapi kalau Anda lihat pohon industri Indonesia,
kita itu masih limited. Kita bisa mengatakan di bidang miningIndonesia, kaya akan mining. Tapi do you have mining industry yang advance?
Kita ngambilin batu-bara, nikel, velo, emas. Do
we havedownsideindustry? Nggak juga. Oleh karena itu semuanya, entah jurusan Metalogi atau Sciencekalau dapat di negara lain, kalau pengen
jadi apa saja di bidang Material, Anda perginya
ke negara lain. Kalau Indonesia
sendiri enggak punya, tidak mengembangkan ekonomi yang untuk bisa meng-createindustri-industri
seperti itu, ya nggak akan bisa jalan. Terus Anda bisa
terus anda merasa, “Bu saya sudah
sekolah tinggi-tinggi di Indonesia, nggak ada lembaganya saya, jadi saya harus
ke negara maju terus.” Kan kayak gitu. Coba kita sekarang bicara tentang Food Estate, ketahanan pangan. Indonesia mau bicara
dan mulai dari padi, non-padi, tapi
kalau kita bicara tentang industri makanan dan sustainability of farm, itu kita masih
sangat limited. Kita nggak punya perkebunan yang modern
hebat. Ada sekarang palm oil, padahal kita dulu punya karet, kita punya coklat, kita
punya kopra.
Nah hal-hal
seperti inilah yang kita menggambarkan bahwa
you can not separatengomongin soal
pendidikan tanpa melihat ekonomi
besarnya. Nah sekarang saya ingin menyampaikan kepada kita semua, “Kenapa kita membuat undang-undang Cipta
kerja?” Regardless mau kita ngomongin
tentang kontroversinya. Tapi nggak akan
ada itu yang disebut industri-industri tumbuh kalau ease of doing business di Indonesia itu
rumit sekali. Jadi ini adalah
investasi bagi anak-anak kita semuanya. Mau dari
industri pangan, industri mining,
industri elektronik, kalau sekarang Anda mau bicara tentang industrydigital, artifisial intelijen, yang
disebut mau medical, whatever you say, otomotif. Semuanya itu akan muncul kalau ada Capital dan Capital hanya akan datang kalau ada sebuah negara yang memang
menciptakan lingkungan investasi yang baik. Lingkungan investasi yang baik itu tidak eksploitasi karena
tidak ada industri yang sustainable
kalau
dia eksploitatif. Jadi lingkungan
investasi yang baik itu adalah win-win
solution. Gak ada kita
bicara bahwa investasi yang bagus itu kapitalis saja yang di-servebagus, kemudian gurunya harus di eksploitasi,
sumber daya alamnya dikorbankan, lingkungan
dikorbankan.
Karena kita sekarang ini dan kita beroperasi
dalam mengelola Republik, kita tahu bahwa kalau
Anda
merusak lingkungan, produk Anda tidak
akan dibeli.
Oh jangankan begitu, kalau sekarang kita
memproduksi Listrik kita konsumsi sendiri tapi emisi CO2 nya kebanyakan kita
juga akan dilihat oleh seluruh dunia. Jadi poin saya, adalah kita sekarang ini
kalau kita mau bicara tentang pendidikan, kita tidak boleh separatedari tujuan kita untuk menciptakan
kondisi Indonesia yang membuat seluruh orang bisa thrive, bisa berkembang. Orang berkembang kalau ada di Expose, Expose
hanya terjadi kalau kita punya banyak sekali berbagai kegiatan ekonomi yang
produktif tadi, bukan untuk mencari
kerja, bahkan anda yang
punya ide bagus, Anda bisa menggunakan menggunakan ide itu untuk cari Capital, dan anda bisa create dan anda nggak perlu minta izin ini, minta
izin itu. Keburu ide anda
sudah mati sebelumnya kegiatan
Anda mulai karena terlalu banyak perizinan itu.
Itulah kenapa kita mengatakan ini semuanya adalah pondasi yang tidak
terpisahkan. Jadi jangan
pernah berpikir bahwa kalau ngomongin soal
sumber daya manusia itu, it’s only a problem ofMas
Nadiem, Kementerian Agama atau menteri ristek, SDM itu adalah masalah kita semua, Menteri
Keuangan seperti saya harus terus attachedpada kebutuhan. Menteri-menteri
yang lain juga sama.
Ini yang saya
ingin, sebagai penutup, saya katakan ya
inilah cara kita untuk, tadi,
mengaktualisasikan bahwa kita semua percaya bahwa kualitas SDM itu penting. Dia strategic.
There’s
no question about it. Sekarang gimana
mengaktualisasikan bahwa SDM itu penting menjadi sebagai suatu policy, menjadi suatu aktivitas, menjadi program,
menjadi kegiatan yang betul-betul menghasilkan, plus ekosistemnya diperbaiki. Ekosistem yaitu nggak cuma di perguruan tinggi aja, atau
di sekolah, tapi tadi ekosistem itu, kondisi ekonomi yang baik, ease of doing business, kesempatan terbuka, demokratisasi, semua orang bisa maju, yang berasal dari
keluarga yang tertinggal kita berikan afirmasi supaya dia bisa mengejar itulah
yang disebutkan sebagai apa yang
disebut pemihakan kepada peningkatan kualitas SDM.
The fundamental fact of existence is that this trust in Jesus Christ, this faith, is the firm foundation under everything that makes life worth living. It’s our handle on what we can’t see.