Waktu Baca: 20 menit | Jumlah Kata: 2,908
A. Pendahuluan
Pembangunan
nasional dapat berkelanjutan jika memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan
hidup di samping dimensi ekonomi (Brundtland
Commission, 1987). Pembangunan nasional dan kegiatan ekonomi mempunyai
implikasi kepada dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup (SEEA, 2012).
Pemanfaatan
Sumber Daya Alam (SDA), sebagai contoh, dapat memberikan kontribusi kepada
pembangunan nasional, karena, antara lain membuka lapangan kerja, investasi,
penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Berdasarkan data
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018 (audited) penerimaan negara melalui perpajakan dari sektor SDA,
antara lain Pajak Penghasilan (PPh) Minyak Bumi dan Gas (Migas) pada tahun 2017
sebesar Rp50,31 triliun. Sedangkan pada tahun 2018 meningkat, mencapai Rp64,69
triliun. Sementara, penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari
sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan mineral dan batubara, pertambangan
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas alam, serta pertambangan panas bumi pada tahun
2017 sebesar Rp16,73 triliun. Pada tahun 2018 meningkat, menjadi Rp19,35
triliun. Pada PNBP SDA, pada tahun 2017 sebesar Rp111,13 triliun. Meningkat
tajam pada 2018 sebesar Rp180,59 triliun.
Di
sisi lain, kontribusi penyediaan lapangan kerja pada sektor pertanian,
perkebunan, kehutanan, perburuan, pertambangan dan penggalian berdasarkan data
BPS pada tahun 2017 sebanyak 31.9% dari total lapangan kerja utama dan tahun
2018 sebesar 31.5% atau rata-rata 37.3%
pertahun sejak tahun 2005. Terkait dengan iklim investasi, realisasi Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor
pertambangan, kehutanan, dan perikanan pada periode 2013-2018, rata rata
pertahun berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), masing-masing
sebesar Rp61,38 triliun di sektor pertambangan, Rp1,2 triliun di sektor
kehutanan, dan Rp500 miliar di sektor perikanan, sejak tahun 2013 sampai
Desember 2018.
Pemanfaatan
SDA selain memberikan dampak kepada ekonomi juga memberikan dampak kepada kehidupan
masyarakat dan lingkungan hidup. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) seperti emisi CO2,
CH4, N2O dan PFC, sebagai contoh, mempunyai hubungan
langsung dan tidak langsung dengan pemanfaatan SDA, khususnya di sektor
kehutanan dan Pertambangan.
Data
dari Indonesia Second National
Communication under the United
Nations Framework Convention on Climate Change (ISNC) tahun 2010
menyebutkan bahwa sektor energi menyumbangkan emisi GRK rata-rata sejak tahun
2000 sampai 2005 sebesar 331.915,97 GgCO2e atau 19.85% total emisi dan Land Use Change and Forestry (LUCF)
sebesar 689.172,59 GgCO2e atau 41.2% total emisi dan Peat fire sebesar 363.500 GgCO2e atau 21.74% total emisi. Total
LUCF dan Peat Fire, menurut Bank
Dunia, merupakan kontribusi dari Peat
Fire sebesar 53%, Peat Drainage
sebesar 20%, deforestation 22% dan,
pengembangan kelapa sawit dan hutan tanaman sebesar 5% (ISNC, 2010).
Emisi
GRK meningkatkan suhu rata rata permukaan yang lebih lanjut mengubah pola dari
iklim. Perubahan iklim yang di Indonesia menurut INSC (2010) menyebabkan
berbagai kekeringan, banjir, kebakaran, dan berbagai bentuk bencana lainnya.
Dampak perubahan iklim dapat berupa menurunnya penghasilan petani karena
kekeringan di Nusa Tenggara Timur dan banjir di Jawa; hasil nelayan menurun;
berbagai penyakit muncul; serta flora dan fauna yang rusak serta punah.
Berbagai
bencana akibat perubahan iklim berdampak secara dominan kepada kelompok sosial
masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Semuanya itu, secara langsung
maupun tidak langsung, mempengaruhi pendapatan negara/daerah dan meningkatnya
belanja pemerintah, seperti biaya penanganan bencana, subsidi kesehatan, biaya
penanganan bencana, dan lain-lain. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
pemanfaatan SDA dan kegiatan ekonomi lainnya dalam pembangunan nasional
mempunyai kontribusi, bukan hanya kepada ekonomi tetapi juga berdampak kepada
lingkungan hidup dan sosial. Ketiga dimensi tersebut harus dapat dijaga
keseimbangannya dalam pembangunan agar dapat mengurangi dampak negatif dari
pembangunan yang tidak berkelanjutan seperti rusaknya lingkungan hidup dan
bencana alam.
Pembangunan berkelanjutan memerlukan data dan
informasi yang mencerminkan ketiga dimensi tersebut untuk pengambilan keputusan
pembangunan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam The Future We Want mengungkapkan pengambil keputusan pembangunan
perlu diinformasikan secara lengkap isu-isu pembangunan berkelanjutan agar
dapat memberikan keputusan yang berkelanjutan (UN, General Assembly. 2012). Pemeriksaan Badan Pemeriksan Keuangan
(BPK), selama ini masih dominan hanya memperhatikan satu dan atau dua dimensi
saja. Belum dilaksanakan secara terintegrasi dan berkaitan (interlinked) antar sektor, baik secara
vertikal dan horizontal. Dengan kondisi itu, hasil pemeriksaan belum dapat
memberikan data dan informasi, termasuk rekomendasi yang dapat mendukung
pengambilan keputusan yang mendorong tercapainya pembangunan berkelanjutan.
Tulisan
ini disusun berdasarkan kajian teoritis dan analisis secara uji petik atas
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Tujuan dari tulisan ini untuk memberikan
masukan bagaimana desain dan strategi pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara dapat mendorong tercapainya pembangunan berkelanjutan
yang lebih lanjut dapat mencapai tujuan negara secara efektif dan efisien.
B. Isu-Isu Pembangunan Berkelanjutan dan Keuangan Negara
Pembangunan
berkelanjutan merupakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Definisi ini diungkapkan
pada laporan Brundtland Commission
atau dikenal dengan Our Common Future
pada tahun 1987. Laporan ini memperkenalkan prinsip keseimbangan antara dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan agar dapat berkelanjutan.
Konsep
pembangunan berkelanjutan dijadikan kesepakatan tujuan (goals) yang seragam dan
berlaku untuk semua negara yang meratifikasinya dengan ditetapkannya Millenium Development Goals (MDGs) untuk
periode 2000-2015. Dilanjutkan dengan Sustainable
Development Goals (SDGs) untuk periode 2015-2030. SDGs terdiri dari 17
tujuan, 169 target, dan 242 indikator global dengan pendekatan terintegratif,
interkoneksi, tidak dapat dipisahkan, dan banyak yang merupakan bagian yang cross-cutting di antara tujuan dan
target.
Di
Indonesia, SDGs, dikenal dengan istilah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) sesuai
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2017 tentang Implementasi TPB. Implementasinya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) dalam rangka tercapainya tujuan negara. Dengan kata lain,
implementasi RPJMN menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi TPB/SDGs
untuk mencapai tujuan negara.
B.1 Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan, MDGs, SDGs dan Tujuan Negara
Adapun
isu-isu pembangunan berkelanjutan di Indonesia berkaitan dengan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, perubahan iklim,
kebakaran hutan, berbagai bencana alam, pertumbuhan ekonomi, kerusakan
lingkungan, eksploitasi SDA, dan lain-lain. Semua isu atau permasalahan
tersebut terjadi pada berbagai sektor dan kegiatan ekonomi. Isu-isu pembangunan
berkelanjutan ada pada beberapa sektor penting di Indonesia, di antaranya,
sektor kehutanan, pertambangan, kebakaran hutan dan lahan, serta isu lainnya.
(1/4) Sektor Kehutanan
Sektor
kehutanan memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia karena
menyumbang lapangan kerja dan pendapatan bagi perekonomian berupa pajak dan PNBP.
Di samping aspek ekonomi tersebut, sektor kehutanan juga memegang peranan dalam
menghasilkan emisi CO2 (GRK) pada saat eksploitasi dan jika terjadi
kebakaran hutan. Selain emisi GRK, eksploitasi hutan juga berdampak kepada
kehidupan flora dan fauna serta daya dukung hutan bagi lingkungan sebagai
penyimpan air.
Eksploitasi
hutan di beberapa tempat dapat mengakibatkan keringnya mata air dan krisis air
minum. Rumah Tangga juga mengalami dampak langsung eksploitasi hutan seperti hilangnya
lapangan kerja; sulitnya mendapatkan bahan makanan dan air; serta budaya. Selain rumah tangga, eksploitasi hutan juga
berdampak kepada sektor industri dari sisi bahan baku. Selain itu, sektor
pendidikan karena berkurangnya kemampuan masyarakat mengikuti pendidikan.
Eksploitasi
hutan yang berlebihan juga membuat terjadinya perubahan iklim. Akibatnya, terjadi
kekeringan, banjir, berbagai penyakit, dan hilangnya lapangan kerja serta berkurangnya
penghasilan. Rumah Tangga yang mengalami dampak perubahan iklim. Tidak hanya
rumah tangga di sekitar hutan, tetapi juga rumah tangga lainnya, khususnya
rumah tangga yang miskin dan bergantung kepada SDA seperti petani dan nelayan.
Berdasarkan
hubungan eksploitasi hutan dengan dampaknya kepada aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan hidup, eksploitasi hutan juga akan memengaruhi program dan kegiatan
pemerintah. Eksploitasi hutan berkaitan dengan program dan kegiatan dari instansi
pemerintah pusat dan daerah, selain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK).
Kementerian
Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dalam kaitan dengan
masalah penyakit-penyakit akibat perubahan iklim. Lalu, Kementerian Pendidikan,
Kementerian Sosial dalam upaya mengatasi kemiskinan seperti Belanja Bantuan
Sosial (Bansos). Kementerian Industri dalam kaitan dengan perijinan industri
terkait hutan. Kemudian, Kementerian Keuangan dalam pengelolaan pertumbuhan
ekonomi dan pemerintah daerah (pemda).
(2/4) Sektor Pertambangan
Pada
tahun 2019, sektor pertambangan dan pengolahan diproyeksikan berkontribusi terhadap
pertumbuhan sebesar 1,81% dan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 7,38%. Aspek
pengelolaan pertambangan dan pengolahannya berkaitan dengan sektor dan isu-isu,
seperti kehutanan, limbah, polusi udara termasuk emisi GRK, pengikisan lahan (erosi),
pengendapan aliran sungai, dan illegal
mining.
Permasalahan
pertambangan tidak bisa hanya ditangani oleh satu kementerian/ lembaga saja,
tetapi banyak kementerian/lembaga termasuk pemda. Perijinan tambang oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pemda, misalnya, jika di
kawasan hutan harus melibatkan KLHK atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
Kehutanan daerah. Jika sudah berdampak kepada sedimentasi sungai, maka akan
berkaitan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan OPD
terkait serta Kementerian Sosial dan Pemda untuk penanganan dampaknya kepada
masyarakat.
(3/4) Kebakaran Hutan dan
Lahan
Permasalahan
kebakaran hutan dan lahan khususnya lahan gambut dapat terjadi karena alam dan ulah manusia. Kegiatan manusia yang
dapat berkontribusi dalam kebakaran hutan dan lahan adalah pembukaan lahan
untuk pertanian dan perkebunan; kelalaian manusia dengan membakar sembarangan;
dan pembukaan kawasan hutan. Hal ini akan diperparah jika yang terbakar
merupakan lahan gambut dan hutan gambut yang cenderung mudah untuk menyebar.
Masalah
iklim yang cenderung semakin panas dan semakin lama durasi panasnya juga
berpotensi meningkatkan kebakaran hutan, khususnya lahan dan kawasan hutan
gambut. Lahan gambut perlu direhabilitasi sehingga dapat menahan tingkat
kebasahan lahan gambut jadi tidak mudah terbakar
Penanganan
kebakaran hutan dan lahan harus dilihat dari proses hulu ke hilir sehingga
melibatkan berbagai sektor yaitu keamanan, kehutanan, lingkungan hidup,
pertanian, penanganan bencana, luar negeri, kesehatan, serta perhubungan dan
transportasi. Semua sektor tersebut juga berimplikasi kepada instansi-instasi
yang bertanggungjawab atas sektor-sektor tersebut. Termasuk pemda mempunyai
kontribusi dalam isu kebakaran hutan.
(4/4) Isu Lainnya
Di
samping sektor dan isu-isu tersebut, isu-isu seperti kemiskinan, pariwisata,
kelautan, pendidikan, kesehatan, pertumbuhan ekonomi, kelaparan, dan kelautan
juga menjadi signifikan bagi Indonesia dalam mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
Hasil
pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa
masalah pengelolaan limbah khususnya sampah, terumbu karang dan keterlibatan masyarakat
menjadi isu-isu lainnya selain dimensi ekonomi dalam pemeriksaan pada sektor
pariwisata dan kelautan. Pemeriksan tersebut juga menunjukkan pentingnya
keterkaitan instansi/OPD selain Instansi/OPD terkait keuangan, termasuk sinergi
dengan program/kegiatan pemerintah di semua tingkatan dalam mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
C. Data dan Informasi serta
Pengambilan Keputusan Pembangunan
Isu-isu pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang atau satu instansi/sektor (silo sectors), tetapi terintegrasi dan saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama, pemahaman atas isu-isu pembangunan nasional harus dilihat dari tiga hal secara utuh dan lengkap atau Whole of Government/WoG (Ling, 2002 dalam Colgan et al. 2014). Kedua, pembangunan berkelanjutan juga menimbulkan permasalahan-permasalahan, seperti dampak kerusakan lingkungan dan bencana yang informasinya tidak terserap dalam pasar, sehingga cenderung membuat kegagalan pasar/market failure (Stern, 2007) dan ketidakseimbangan dimensi dalam pengambilan keputusan.
Ketiga, kegagalan pengambil keputusan dalam
memperoleh data dan informasi tentang
dimensi lingkungan hidup dan sosial dari suatu pembangunan berpotensi akan meningkatkan
pendapatan, investasi dan tenaga kerja di satu sisi. Tapi, di sisi lainnya,
menimbulkan biaya-biaya yang langsung, seperti biaya penanganan bencana, biaya bantuan
kepada masyarakat miskin, biaya penanganan berbagai penyakit, serta biaya tidak
langsung berupa rusaknya fungsi lingkungan hidup dan berkurang atau punahnya
spesies flora dan fauna tertentu.
Arti
penting integrasi ketiga dimensi tersebut dalam pengambilan keputusan yang mendukung
pembangunan berkelanjutan, ditegaskan pada resolusi PBB tahun 2012 yang berjudul
The future we want (para 276).
Meminjam
istilah pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001, Joseph E. Stiglitz dalam buku
Globalization and Its Discontents: “More
information will surely lead to better policies and those will lead to better
results. If that happens, then I will feel I have made a contribution”.
Data dan informasi yang lebih dimensinya, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup,
memberikan kebijakan dan hasil yang lebih baik, yang dalam konteks pembangunan
menjadi berkelanjutan.
D. Karakteristik Permasalahan
terkait Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan
isu-isu yang ada, maka dapat dikatakan bahwa permasalahan terkait pembangunan
berkelanjutan mempunyai karakteristik utama, yaitu saling berkaitan (interlinked) dan terintegrasi (integrated). Pembangunan nasional tidak
dapat memisahkan dimensi-dimensinya dan harus menjaga keseimbangan di antara
dimensi dalam setiap pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan.
Inter-linked berarti program dan kegiatan pembangunan dari semua entitas pemerintah
pusat dan daerah termasuk institusi lain, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan organisasi filantrop saling berhubungan dan berinteraksi. Terintegrasi berarti semua program dan
kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan pemerintah dan nonpemerintah
mempunyai tujuan dan sasaran yang sama dalam mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan.
Dalam
kaitan dengan SDGs, maka 17 tujuan dan 169 target SDGs berkarakteristik inter-linked dan terintegrasi. Di
samping kedua karakteristik tersebut, isu pembangunan berkelanjutan juga
berdimensi jangka pendek, panjang dan menengah.
Sesuatu
yang kecil pada saat ini akan berdampak besar dalam jangka menengah dan
panjang. Masalah sampah atau pencemaran udara, jika dilihat dari belanja atau
pendapatan nyata (moneter atau rupiah) berpotensi menimbulkan dampak atau outcome lingkungan yang bernilai besar
dan memengaruhi kesejahteraan rakyat (negative
externality).
Isu
pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilihat dari sisi materialitas tetapi
harus beyond materility atau tidak hanya kuantitatif, tetapi kualitatif,
seperti topik yang menjadi pusat perhatian atau yang
ditanyakan masyarakat atau pengambil keputusan (WGEA, 2016).
E. Pembangunan Berkelanjutan dan Pemeriksaan Keuangan Negara
Berdasarkan
karakteristik pembangunan berkelanjutan, maka dapat diketahui beberapa hal
terkait desain dan strategi pemeriksaan yang dapat menyediakan data dan
informasi bagi pengambil keputusan agar kebijakan dan keputusannya dapat
mendukung tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Beberapa desain dan
strategi pemeriksaan tersebut, pertama, pemeriksaan yang dapat mendorong
tercapainya pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan konsep pembangunan
secara terintegrasi dan interlinked
atau mencakup the Whole of Government
(WoG).
Pembangunan
berkelanjutan merupakan pembangunan yang menjaga keseimbangan dimensi ekonomi,
lingkungan hidup, dan sosial. Hal ini menekankan bahwa pembangunan harus saling
berinteraksi (interlinked) dan
terintegrasi di antara instansi-instansi terkait serta tidak dapat berdiri
sendiri (silo sectors atau stand-alone).
Program
dan kegiatan pemerintah secara parsial membentuk output berdasarkan proses dan input yang ada untuk mencapai intermediate outcome atau outcome. Pencapaian outcome dari suatu program dan kegiatan sesuai konsep pembangunan
berkelanjutan harus memperhatikan outputs dan/atau intermediate outcome dari instansi lainnya, termasuk pemerintah
daerah dan swasta.
Sementara,
konsep WoG dapat dilaksanakan dengan basis isu permasalahan seperti isu
perubahan iklim dan isu kebakaran hutan, indikator yang sama seperti
peningkatan
akreditasi semua Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi minimal akreditasi B,
serta target serta tujuan yang sama seperti target SDGs Goal #13
mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam kebijakan nasional, strategi dan
perencanaan.
Semakin
luas topik pemeriksaan, maka akan semakin luas cakupan entitas yang terkait.
Selain itu, semakin luas topik pemeriksaan, semakin luas juga yang perlu
menjadi perhatian serta dapat mempertimbangkan pemeriksaan yang lintas tahun
atau multiyears (WGEA, 2016).
Pemahaman
secara utuh topik pemeriksaan perlu untuk dapat merumuskan tujuan pemeriksaan,
sasaran pemeriksaan, kriteria pemeriksaan, dan metodologi serta jangka waktu pemeriksaan. Tujuan pemeriksaan yang dirumuskan dengan kerangka
pemahaman topik secara WoG dapat meningkatkan kualitas kesimpulan dan
rekomendasi pemeriksaan. Hal ini juga dapat mendorong keselarasan pembangunan
antara pemerintah pusat dengan sektor horizontalnya dan pemerintah daerah
dengan sektor vertikalnya.
Kedua, pemeriksaan berbasis outcome dan melebihi dari basis sistem dan regulasi. Pembangunan
berkelanjutan merupakan integrasi dan
inter-linked dimensi-dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang membentuk outcome tertentu. Masing-masing dimensi mempunyai
input-proses-output serta intermediate
outcome tersendiri yang harus terintegrasi dan inter-linked satu sama lain.
Sebagai contoh, isu perubahan iklim berkaitan dengan minimal tiga sektor yaitu energi, limbah dan land-use and land use change-forestry (LULUCF) serta melibatkan berbagai proses baik yang terjadi di Kementerian LHK, ESDM, Perhubungan, Perindustrian dan lain-lain. Masing-masing kementerian mempunyai berbagai proses dan outcome (intermediate outcome) yang pada akhirnya mencapai upaya menurunkan emisi GRK nasional sebagai outcome final. Desain pemeriksaan dapat dilakukan secara parsial kementerian. Tapi, penentuan topik pemeriksaan tetap dikaitkan dengan intermediate outcome kementerian dan outcome final (mitigasi emisi GRK).
Kesimpulan
dan temuan pemeriksaan walaupun bersifat parsial tetapi dapat memberikan
rekomendasi yang berefek domino (recommendation
with domino effect) kepada pencapaian outcome
final. Demikian juga jika desain pemeriksaan berdasarkan isu mitigasi perubahan
iklim secara nasional, maka harus memperhatikan semua pihak terkait sehingga
dapat memberikan kesimpulan atas outcome final dan rekomendasi yang
komprehensif.
Pemeriksaan
yang mendorong pembangunan agar berkelanjutan, karena sifat kompleksitas dan
keterkaitannya, dapat bersifat perspektif, seperti perspektif yang terbatas pada satu topik, satu instansi, satu subindikator, dan lain-lain. Atau,
bersifat lengkap (comprehensive) per
tujuan, target atau indikator.
Ketiga, fokus kepada aspek kualitatif selain kuantitatif. Isu lingkungan hidup
seperti mitigasi/adaptasi perubahan iklim dan pengelolaan sampah, termasuk
dampaknya bagi masyarakat, pada saat ini, nilainya belum dapat diserap oleh
pasar. Hal ini cenderung secara moneter nilainya tidak material (signifikan),
tetapi berdampak signifikan misalnya menambah biaya kesehatan dan penanganan
bencana. Jika penentuan sampel dan fokus pemeriksaan didasarkan kepada nilai
rupiah, maka kecenderungan isu lingkungan hidup dan sosial tidak akan terpilih
dan tidak dijadikan fokus pemeriksaan.
Pendekatan
pada outcome dalam menentukan fokus pemeriksaan seperti mengatasi kemiskinan
dan mengurangi tingkat kematian bayi, dan sampel seperti proporsi penduduk
miskin di suatu wilayah, perlu dilakukan dalam pemeriksaan yang dapat mendorong
tercapai pembangunan yang berkelanjutan (WGEA, 2016). Pemeriksaan yang fokus kepada kebutuhan
masyarakat dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau pengambilan
keputusan, dapat mendorong upaya tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.
F. Kesimpulan
Pembangunan
berkelanjutan sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, mempunyai
tiga dimensi: lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. Ketiga dimensi ini yang di dunia nyata saling terkait dan terintegrasi untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang memperhatikan lingkungan hidup dan sosial seperti pengentasan
kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Selain
itu, pembangunan yang berkelanjutan juga mempunyai dimensi waktu yaitu jangka
panjang selain jangka pendek dan menengah serta berbasis outcome. Dimensi dari pembangunan
berkelanjutan tersebut juga mempengaruhi desain dan strategi pemeriksaan.
Pemeriksaan
dapat secara efisien dan efektif mendukung pembangunan berkelanjutan jika
berkonsep the Whole of Government
(WoG), berbasis outcome atau intermediate outcome, dan memperhatikan
aspek kualitatif dari pembangunan, di samping aspek materialitas nilai uang
serta keterkaitan sektor-sektor secara horizontal pada pemerintah pusat dan
vertikal
dengan pemda. Hal ini ditambahkan juga dalam konteks SDGs,
pada Perpres 59 tahun 2017, melibatkan para pemilik kepentingan dan Institusi
nonpemerintah yang terkait.
Perbedaan
antara pernyataan leading by example
dan following the example terletak
pada kata inovasi dan keberanian untuk keluar dari kotak (out of the box) tetapi tetap dalam koridor
mandat dan wewenang BPK.
Penerapan
pemeriksaan yang berdimensi pembangunan berkelanjutan, baik berbentuk perspektif pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berkelanjutan secara
utuh (comprehensive), dapat membuat pemeriksaan menjadi lebih efisien dan
efektif dalam mendorong tercapainya tujuan negara sebagai mana visi dari BPK.
Sumber: Badiklat PKN Badan Pemeriksa Keuangan. 2020. Membangun BPK Paripurna: Menentukan Masa Depan Negara (Buku 1). hal 348 - 358.