HENDAR RISTRIAWAN: SIANG DI BPK, MALAM DI HUKUM


Waktu baca: 20 menit


Hendar Ristriawan mengawali kariernya sebagai pegawai Badan Pemeriksa Keuangan selepas bangku SMA. Ia menempuh perjalanan panjang. Namun, baginya, pekerjaan bukanlah akhir. Di sela-sela kesibukan, pria kelahiran Cilacap ini terus menyempatkan diri untuk meneruskan studi. Mulai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum UI, S-2 dari Universitas Krisnadwipayana, hingga gelar Doktor dari Universitas Padjajaran diraihnya. Di BPK, di antaranya Hendar pernah bertugas sebagai Kepala Sub-Bagian Hukum dan Perundang-undangan (1992-1998), Kepala Sub-Auditorat (1998-2002), Kepala Perwakilan BPK di Banjarmasin (2002-2006), Inspektur Utama Pengawasan Intern dan Khusus (2006-2007), Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara (2007-2010), dan akhirnya sebagai Sekretaris Jenderal (2010 hingga sekarang). Selain berseloroh bahwa cita-citanya tidak tercapai, ayah dari dua putri dan kakek dari seorang cucu ini membagikan resep dan pengalamannya berkarya di BPK. Termasuk kiat membagi waktu yang dapat berguna bagi generasi muda. 
Bapak bekerja di BPK sejak lulus SMA. Masa bakti yang panjang dan dibarengi dengan kegiatan kuliah hingga gelar Doktor. Bisa cerita sekilas perjalanan karier?
Saya dulu sekolah SMA di Kanisius sampai kelas dua. Saya mengamati, pada waktu itu lulusan Kanisius kok sedikit yang diterima di perguruan tinggi negeri. Lalu untuk kelas tiga saya pindah ke SMA Negeri 26 di Tebet agar peluang diterima di universitas negeri semakin besar. Akhirnya bisa masuk Fakultas Hukum UI. Sambil mulai bekerja di BPK.

Kemudian studi berlanjut ke S-2, hingga S-3. Keinginan untuk terus sekolah besar ya Pak?
Ya, selepas SMA semua pendidikan saya Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Jadi, secara bercanda dibilangnya ‘Kalau siang di BPK, sore sampai malam di Hukum’ ha.. ha... ha… Ya, sampai S-3. Waktu mulai mengambil program S-3 itu saya baru dua tahun menjabat sebagai Sekjen. Waktu itu timbul pertanyaan dalam diri saya: Hendar, setelah kamu tidak lagi menjadi Sekjen mau menjadi apa? Pertanyaan itu terus mengusik, karena jabatan ini tidak mungkin berlangsung lama.

Apa yang memotivasi studi?
Pada waktu itu saya bertanya-tanya, setelah menjadi Sekjen, selanjutnya ada tiga kemungkinan. Pertama, apakah saya akan melanjutkan karier di BPK sebagai Anggota, atau apakah mau berbisnis, atau apa? Posisi Sekjen itu bisa ada banyak peluang untuk merintis jalur bisnis. Akan tetapi, saya kemudian berpikir, apakah sebenarnya kekuatan diri saya? Kalau menjadi Anggota BPK, pada waktu itu saya merasa terlalu berat. Jadi pilihan itu saya hapus. Lalu, bagaimana kalau bisnis? Saya pikir-pikir, rasanya saya juga tidak ke sana. Nah, banyak juga yang mengatakan bahwa kalau saya di program diklat, cara saya dalam mengajar enak. Makanya, kemudian saya berpikir untuk menjadi dosen saja setelah masuk usia pensiun. Masa pensiun saya nanti mulai Maret 2018. Itulah sebabnya saya dulu mengikuti program doktoral di Unpad. Alhamdulilah, setelah selesai S-3, saya langsung ditawari untuk menjadi dosen di sana. Sekarang pun saya sudah menjalani masa sebagai pengajar, di Universitas Nasional. Selesai jam kerja saya mengajar. Juga ada tawaran mengajar di tempat lain. Ya, hitung-hitung semuanya persiapan menyambut masa pensiun.

Bagaimana cara membagi waktunya?
Saya selalu mengupayakan agar pulang kantor tepat waktu. Setiba di rumah, saya menyediakan waktu sampai jam sembilan malam untuk ngobrol atau bercengkerama bersama keluarga. Setelah itu, saya izin untuk membaca, menyelesaikan pekerjaan, atau menulis. Dua-tiga jam begitu, sampai jam 12 malam. Begitu rutinitasnya. Saya juga sedang menulis buku mengenai perbandingan antara badan pemeriksa di beberapa negara. Sedang inishing, sebentar lagi selesai. Kalau tulisan di Jurnal Konstitusi sudah terbit beberapa. Ya, itu untuk angka kredit, persiapan buat nanti mengajar juga.

Bapak disiplin sekali membagi waktu. Apa ada pengaruh pendidikan di masa kecil?
Orang tua saya dulu guru. Waktu saya masih SD sampai SMA, kami kakakberadik tujuh bersaudara selalu belajar bersama di meja makan. Kami diwajibkan oleh orang tua untuk selalu membaca bahan pelajaran dengan suara keras. Ya, ‘kan ramai tuh. Rupanya itu juga cara orang tua kami agar tahu, kami sebenarnya belajar atau enggak. Kemudian, sewaktu bekerja, bagi saya memang penting untuk selalu meningkatkan kompetensi diri dalam pekerjaan.

Apa pengalaman berkesan dari awal-awal bekerja di BPK?
Waktu masuk Biro Hukum BPK, ada psikotes sebagainya. Oleh psikolog, saya ditanya, masuk bekerja di BPK cita-cita saya apa? Saya menjawab, cita-cita saya adalah menjadi Kepala Biro Hukum BPK. Nah, kemudian itu menjadi cita-cita yang tidak pernah tercapai, karena Biro Hukum kemudian bubar, berubah nama menjadi Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum ha..ha..ha...

Bapak menjabat sebagai Sekjen BPK sejak November 2010. Bagaimana dulu ceritanya?
Saya menjadi Sekjen BPK itu dulu karena perintah atasan. Jadi memang amanah. Bukan karena kemauan saya. Pada waktu  Itu sempat ada yang tanya juga, mengapa mau menjadi Sekjen? ‘Kamu tidak cocok jadi Sekjen, lebih cocok di bidang hukum’ katanya. Saya jawab, ya ini perintah.” Tantangan terbesar pada awal jabatan sebagai Sekjen? “Pada waktu itu masih marak kasus Bank Century. Ya, saya mempelajarilah, mendalami hasil-hasil pemeriksaannya dari aspek hukum. Di saat bersamaan, Pak Hadi Poernomo, Ketua BPK waktu itu, sedang mengembangkan e-audit. Kami berdiskusi bagaimana konsep itu bisa dikembangkan, sarana dan prasarananya. Beliau juga punya ide untuk membangun suatu pusat data yang terintegrasi, untuk kepentingan pemeriksaan. Tugas Sekjen lebih kepada manajemennya, bukan teknisnya. Posisi Sekjen sebenarnya lebih kepada masalah manajemen sumber daya manusia, manajemen keuangan, humas, dan teknologi informasi. Sedangkan untuk eksternal, lebih banyak menghadapi media.

Dalam konteks internasional, tampaknya BPK sekarang cukup punya peran penting ya, Pak?
Ya. Di tingkat Setjen (Sekretariat Jenderal), kami mengusulkan digelarnya forum untuk sharing. Kemudian, dalam bidang pusdiklat, kita di Indonesia punya pengalaman dan keunggulan dalam pemeriksaan terkait lingkungan dan bencana. Saya minta hal itu dimanfaatkan oleh pusdiklat agar bisa menjadi lembaga pendidikan bagi auditor-auditor internasional. Kita ketuanya dalam hal itu, juga dalam sekretariat lingkup ASEAN. Kalau ada tamu dari negara lain yang punya kompetensi khusus, kita undang untuk berbicara di pusdiklat. Saya memang inginnya pusdiklat kita dikenal sampai ke lingkup internasional. Akhirnya, kita memang sering dipercaya untuk menyelenggarakan pelatihan berskala internasional. Kalau bisa, saya ingin agar orang-orang yang belajar di pusdiklat kita memiliki kebanggaan, karena telah belajar di pusdiklat kita. Jadi, pusdiklat kita harus punya reputasi. Ini harus dibangun. Saya katakan, para peserta diklat kita itu akan menjadi humas ke luar, mengenai kualitas pusdiklat kita.

Ke depannya, apa yang bisa dilakukan demi perkembangan BPK secara organisasi?
Pertama, karakteristik BPK. Kalau kita bicara data, ya. Lebih dari 70 persen pegawai BPK berdomisili di Pulau Jawa, sementara BPK mempunyai 34 kantor perwakilan di seluruh Indonesia. Di luar Pulau Jawa yang terbesar itu ada di Medan dan Makassar. Untuk wilayah timur jumlahnya kecil sekali. Pegawai BPK di Papua itu mungkin hanya nol koma sekian persen dari total. Ini suatu persoalan. Yang kedua, kita bicara gender. Lebih dari 42 persen pegawai BPK itu wanita. Dalam perekrutan, yang wanita memang cukup menonjol. Namun, bisa muncul persoalan ketika pegawai wanita kemudian berkeluarga. Agak sulit jadinya, untuk ditempatkan di luar Pulau Jawa. Kemudian, ada dalam budaya masyarakat kita, terutama di Jawa, bahwa mengurus orang tua yang sudah sepuh adalah kewajiban. Ini mendorong mereka sehingga pada usia tertentu minta ditempatkan kembali di Pulau Jawa agar mudah mengurus orang tua. Dalam manajemen SDM, hal-hal semacam itu juga perlu diperhitungkan. Kita sudah punya pola mutasi. Tapi, tetap saja faktanya yang lolos hasil seleksi dan persyaratan untuk menjadi pegawai BPK masih lebih banyak berasal dari Pulau Jawa.

Hal lain?
Pegawai BPK umumnya punya kecenderungan tingkat kolesterolnya tinggi. Mungkin ada kaitannya dengan karakter pekerjaan. Banyak duduk, banyak pekerjaan, overtime. Nah, saya sendiri membiasakan diri untuk bekerja sambil berdiri. Ada meja khusus untuk itu. Hal-hal ini termasuk tantangan yang perlu dipikirkan jalan keluarnya. Fasilitas olahraga diperbanyak. Setiap hari Jumat kami sediakan berbagai fasilitas olahraga. Tapi ya itu, tetap saja susah mengajak karyawan berolahraga. Kecuali kalau ada snack, baru mau pada turun he.. he.. he... Ada lagi satu hal, saya belajar dari pengalaman para senior. Mereka yang berhasil dalam bisnis setelah masa kerja di BPK umumnya memang telah memulai rintisan sejak lama. Kalau setelah pensiun baru mulai merintis, sulit sekali untuk berhasil. Bisnis itu juga perlu proses panjang, jatuh-bangun, ‘kan? Nah, sekarang ada program persiapan pensiun di BPK. Saya minta, karyawan yang dua atau tiga tahun lagi akan pensiun kita tawarkan program-program pendidikan terutama bisnis, termasuk model-model bisnisnya. Sebagai persiapan. Ini karena menurut pengalaman dan pengamatan saya, mereka yang baru mencoba beralih profesi setelah masa pensiun umumnya akan kesulitan. Karakter pekerjaan sebagai pegawai negeri tidak mengajarkan mereka dalam entrepreneurship. Mereka-mereka yang merancang dan mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum masa pensiun-lah yang akan berhasil.

Apa ada hobi yang dijalani seandainya ada waktu luang atau saat libur?
Fitness. Tapi sebenarnya bukan hobi, ya. Melainkan karena kebutuhan. Kalau pekerjaan sedang banyak tentu ada tekanan psikologis. Daripada stresnya saya bawa ke rumah, saya mencari tempat fitness. Sedangkan untuk rileks, kalau saya biasanya dengan cara jalan bersama keluarga. Ya keluarlah begitu, makan atau jalan-jalan.

Ada pesan untuk karyawan BPK yang muda-muda, Pak?
Terutama itu. Cintai dan kuasai pekerjaan. Di mana pun kita berada. Di mana pun kita ditempatkan. Nah, untuk bisa menguasai pekerjaan, kita harus bisa membagi waktu. Terutama dalam meningkatkan kompetensi sesuai dengan bidang tugas kita. Belajar itu tidak boleh berhenti, pada level mana pun kita berada. Pengetahuan juga tidak hanya soal ilmu pengetahuan dan teknis keterampilan. Tetapi juga hal-hal lain yang tidak bisa dipelajari dari buku. Misalnya belajar cara memimpin rapat, bagaimana berkomunikasi, cara menghadapi pimpinan, menghadapi bawahan, dan sebagainya. Jangan sekali-kali merasa puas. Saya sendiri banyak belajar dari para senior. Dari Pak Anwar Nasution, Pak Abdullah Zainie, Pak Hadi Poernomo, dan para pemimpin sekarang.
____

Sumber:
Badan Pemeriksa Keuangan | Majalah Warta Pemeriksa Edisi 01 Vol. I Januari 2018 | hal. 42 - 45

No comments:

Post a Comment