Waktu Baca: 5 menit | Jumlah kata: 1,020
Dr., Drs. Sri Haryoso Suliyanto, M.Si. , CSFA telah menyumbangkan berbagai terobosan penting dalam upaya modernisasi dan komputerisasi sistem teknologi informasi di BPK. Berkiprah sejak 1981, Sri memiliki impian agar BPK bisa semakin dikenal di mata internasional. Dengan semangat itu, ia pun menyampaikan pendapat/ide kepada Ketua, Wakil Ketua dan Sekjen BPK untuk alih fungsi aset perwakilan BPK Perwakilan Bali menjadi Balai Diklat Pemeriksaan Keuangan Negara di Bali.
Bagaimana proses Bapak bisa bergabung menjadi pegawai BPK?
Kalau bercerita tentang bagaimana saya bergabung ke BPK mungkin agak unik. Saya itu hanya semangat menyampaikan lamaran pekerjaan ke seluruh kementerian di Jakarta. Salah satunya adalah BPK. Tapi, waktu itu proses lamaran pekerjaan belum mengandalkan teknologi informasi seperti scan berkas. Jadi, waktu itu harus dikirimkan secara fisik lamarannya.
Setelah mengirimkan berkas lamaran saya tidak terlalu memantau perkembangannya. Ketika itu, saya sudah menjadi mahasiswa di IKIP Jakarta. Memang, waktu itu, saya diterima atau tidak di BPK bukan menjadi fokus saya.
Tapi, suatu ketika saya penasaran dan ingin mencari informasi siapa tahu ada pengumuman di kantor pos. Waktu itu saya tinggal di Depok sehingga tidak bisa langsung berkunjung ke BPK. Kebetulan kantor pos itu dekat dengan Stasiun Depok Lama. Ternyata betul, saya mendapatkan surat panggilan ke BPK. Bahkan, itu sudah terlambat satu minggu.
Karena memang, di rumah saya di Depok itu ketika siang hari tidak ada yang di rumah. Ada yang kuliah, ada yang kerja. Sehingga surat panggilan itu tidak sampai ke rumah. Saya pun memutuskan untuk menindaklanjuti panggilan itu walaupun waktunya sudah mepet. Saya diberikan waktu 10 hari setelah pengumuman. Saya pun mencoba memenuhi persyaratan yang diminta dan ternyata masih terkejar waktunya. Singkat cerita, saya pun diterima di BPK pada 1981.
Setelah diterima kemudian, mana yang saya pilih? Apakah BPK atau kuliah? Kalau melanjutkan kuliah saya bisa menjadi guru dengan golongan yang lebih tinggi sementara jika memilih BPK akan lebih rendah tapi bisa lebih mandiri. Agar saya bisa hidup lebih mandiri, saya pun memutuskan untuk bekerja di BPK.
Bagaimana perjalanan karier Bapak selama berkiprah di BPK?
Untuk pertama kali, saya ditempatkan di Biro Sumber Daya Manusia (SDM). Kalau waktu itu, namanya masih Biro Kepegawaian. Pada saat itu, ada kesempatan untuk membantu BPK membangun sistem teknologi informasi.
Saya pun mencoba ikut juga. Alhamdulillah saya diterima untuk ikut diklat dan kemudian saya ditempatkan di Biro Data. Saat ini, namanya sudah berganti menjadi Biro Teknologi Informasi. Dulu saya bertugas di Bagian Pengolahan Data Elektronik (PDE). Ketika itu, pada 1984, saya bisa membangun aplikasi yang sekarang berkembang namanya SISDM. Jadi, proses data dari mulai kenaikan pangkat, cuti, kenaikan gaji berkala, dan lain-lain itu sudah kita bangun sejak dulu dengan komputerisasi. Meskipun waktu itu masih menggunakan language programming generasi ketiga. Jadi, belum seperti sekarang yang sudah berbasis web dan lebih canggih.
Terkait pemeriksaan, kami juga membangun Sistem Perencanaan Pemeriksaan. Ada juga terkait dengan itu yakni Sistem Pelaksanaan Pemeriksaan. Hal-hal itu yang kemudian saat ini terus berkembang dan semakin baik. Kalau saat ini, semua pegawai sudah menguasai komputer. Sementara, tantangan kami dulu adalah mempromosikan penggunaan komputer kepada seluruh pegawai di BPK. Memang yang waktu itu saya inginkan adalah menggabungkan teknologi pengolahan kata dengan pengolahan data termasuk bagaimana dihubungkan dengan komunikasi.
Hal itu, saat ini sudah terjawab semua. Ketika itu, saya cukup puas. Karena ya, saya ada beban juga karena sudah dibelikan mesinnya masa tidak bisa dipakai. Pengalaman merintis pengembangan TI di BPK itu menjadi salah satu pengalaman paling berkesan untuk saya. Apalagi hal itu dapat menjadi alat yang membantu pelaksanaan tugas di BPK.
Apa perbedaan BPK yang dirasakan pada masa lampau dibandingkan saat ini?
Banyak sekali saya kira. Waktu saya pertama kali masuk ke BPK, kesempatan pegawai untuk menyampaikan pendapat itu masih sangat sulit. Bukan berarti sistemnya kurang baik. Tapi, semenjak Bapak JB Sumarlin menjadi ketua BPK, gaya manajemen di BPK mulai berubah. Apabila sebelumnya cenderung menerapkan gaya manajemen militeristik, di era JB Sumarlin itu sudah lebih modern. Tapi memang perlu dipahami iklim rezim sebelumnya memang seperti itu.
Kemudian, di era JB Sumarlin itu BPK menerapkan pola rekrutmen dan pengembangan karir yang lebih profesional. Artinya, kalau dulu lebih bersifat senioritas, di era JB Sumarlin sudah mulai dibuka semacam merit system. Model ini kemudian berkembang lagi di era kepemimpinan Billy Joedono. Ketika itu, diterapkan sejumlah syarat-syarat tertentu.
Contohnya, manajer atau kepala satuan kerja di BPK itu harus memiliki sikap jujur, profesional, dan berintegritas. Itu sudah mulai dikembangkan. Kemudian, di saat itu juga mulai dibangun panduan manajemen pemeriksaan dan standar audit BPK.
Ketika itu, BPK masih sebatas memperbaiki kualitas SDM-nya. Namun, kapasitas untuk berkiprah di internasional masih sulit dilakukan karena ada keterbatasan jumlah maupun kualitas SDM yang mumpuni. Sehingga, waktu itu jika ada agenda internasional maka yang terpilih mewakili biasanya berasal dari Malaysia atau Filipina.
Saya ketika masih muda itu sering bertanya-tanya, kenapa BPK tidak bisa seperti itu? Tapi, Alhamdulillah sekarang BPK sudah bisa menunjukkan kapasitas internasionalnya dengan terpilih menjadi pemeriksa di lembaga-lembaga internasional.
Anda merupakan salah satu inisiator pendirian Balai Diklat Pemeriksaan Keuangan Negara di Bali. Bagaimana prosesnya ketika itu?
Jadi ceritanya, ketika saya pertama kali mendapatkan tugas penempatan di Bali, saya mendapatkan berita terdapat aset BPK yang rencananya akan ditukar hibah dengan pemerintah daerah. Saya kemudian mempertanyakan wacana tersebut ke Ketua BPK saat itu Moermahadi Soerja Djanegara. Apakah tidak sebaiknya kita manfaatkan saja?
Saya kemudian menyampaikan pendapat/ide untuk membangun Badan Diklat. Saya menjelaskan bahwa Bali itu sudah menjadi destinasi level internasional. Pariwisatanya kelas dunia dan didukung dengan infrastruktur berstandar internasional. Event nasional dan internasional pun sering digelar di Bali.
Saya menyarankan agar balai diklat itu dikembangkan menjadi level internasional. Kemudian, setelah ditinjau kembali, dinilai perlu ada perbaikan sarana dan prasarana yang juga berstandar internasional. Meski begitu, tidak semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan itu harus dibangun oleh BPK. Beberapa bisa diwujudkan dengan kerja sama baik dengan pemerintah daerah setempat maupun swasta.
Misalnya, lapangan tenis bisa memanfaatkan aset lembaga lain. Alhamdulillah itu bisa menjadi keputusan dalam sidang badan. Pimpinan BPK bersepakat bahwa ini bisa mendukung kebijakan BPK untuk go international. Jadi, dampaknya, nama BPK bisa semakin dikenang. Apalagi jika diklat yang diberikan betul-betul memberikan manfaat bagi pesertanya. Kemudian, dengan BPK giat menggelar diklat bertaraf internasional, dapat memberikan dampak positif kenaikan kunjungan wisatawan. Saya kira itu bisa disebut wisata pendidikan.
Apa harapan Bapak kepada BPK ke depan?
Saya harap, BPK bisa semakin dikenal di dunia internasional. Tidak hanya dikenal saja, tapi juga memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan di level internasional baik di Intosai, IDI, atau di lembaga lainnya. Termasuk yang saya harapkan, BPK bisa memiliki produk-produk yang diakui internasional. Misalnya tentang metodologi pemeriksaan tertentu atau membuat standar pemeriksaan di bidang tertentu. Jadi, BPK tidak hanya menjadi follower tapi justru menjadi leader.
___
Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan | Majalah Warta Pemeriksa Edisi 7 Vol. III Juli 2020 | hal. 36 - 38
No comments:
Post a Comment