Waktu baca: 12 menit
Statement
of purpose ini saya
bagikan dengan harapan dapat memberikan gambaran untuk para pembaca yang berencana
untuk mendaftar beasiswa.
HORAS! Tiga kata kunci dalam esai ini
adalah tantangan, ketekunan, dan harapan. Selama sepuluh tahun ini (2008 –
2018), saya menghadapi tiga tantangan utama, yakni pendidikan, ekonomi, dan
keluarga. Ketiga tantangan ini menguji ketekunan saya untuk selalu berpengharapan.
Beasiswa penuh dari Indonesia Banking
School untuk mengenyam pendidikan strata satu sangat mendukung saya untuk lulus
dengan pujian pada 2 April 2012. Setelah lulus, saya mengawali karir sebagai
pemeriksa di PricewaterhouseCoopers Indonesia (PwC) pada 4 Juni 2012. Dua tahun
kemudian, saya memutuskan untuk mendaftar Master Akuntansi dan Keuangan ke
Manchester Business School (MBS) dan hasilnya adalah Letter of Acceptance (LoA)
Conditional tertanggal 21 Mei 2014. Namun, saya membatalkan untuk bergabung
dengan MBS tahun akademik (TA) 2014/2015 karena menghadapi tantangan ekonomi
dan keluarga, yaitu kondisi mamak saya yang tidak sehat. Pada 24 Oktober 2014,
saya mengundurkan diri dari PwC dan, tiga bulan setelahnya, saya melanjutkan
pelayanan sebagai pemeriksa di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
(BPKRI) dan ditempatkan di BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Utara (BPK Sumut).
Selanjutnya, saya kembali memutuskan untuk mendaftar Master Akuntansi ke
Alliance MBS (AMBS/sebelumnya MBS) pada 27 April 2018 dan hasilnya adalah LoA
Conditional tertanggal 2 Mei 2018. Sayangnya, saya membatalkan penawaran
tersebut karena tantangan ekonomi. Dua kali penundaan ini benar-benar melatih
ketekunan saya. Pendaftaran Master Akuntansi saya ke AMBS TA 2019/2020 untuk
ketiga kalinya merupakan bukti saya berpengharapan, termasuk pendaftaran saya
atas Beasiswa Pendidikan Indonesia Afirmasi 2018 PNS dari LPDP (BPI Afirmasi)
melalui Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terkait dengan perpindahan tugas
saya ke BPK Perwakilan NTT tertanggal 18 April 2018. Informasi awal tentang NTT
yang saya ketahui adalah penetapan 18 dari 21 kabupaten di NTT sebagai daerah
tertinggal Tahun 2015 s.d. 2019 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131
Tahun 2015. Hal ini merupakan kesempatan bagi saya untuk memberikan kontribusi
positif sebagai pemeriksa keuangan daerah di wilayah NTT.
Selama tiga tahun di BPK Sumut, saya
berkesempatan terlibat dalam seluruh jenis pemeriksaan dengan peran anggota
tim. Kontribusi yang telah saya lakukan adalah penyelesaian tugas pemeriksaan
yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Output dari kontribusi ini adalah
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, yang diantaranya mengungkapkan ketidakpatuhan
pemerintah daerah (Pemda) terhadap peraturan yang berlaku. Misalnya,
penyelesaian tugas pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten SB pada
Januari 2016 mengungkapkan penyalahgunaan keuangan daerah berupa
pertanggungjawaban yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Selain itu,
penyelesaian tugas pemeriksaan atas efektivitas administrasi kependudukan pada
Pemerintah Kabupaten DS Tahun 2015 s.d. 2017 menunjukkan bahwa Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil belum menindaklanjuti secara tepat atas data
ganda kependudukan. Kedua hal tersebut mendorong saya untuk mengembangkan
kapasitas sebagai pemeriksa, khususnya pemikiran asli yang dapat diterapkan
(original thinking applied) seperti nilai inti pada AMBS. Tantangan untuk
mempraktikkan teori yang ada dapat melatih ketekunan saya, khususnya dalam
profesi saya sebagai pemeriksa. Setelah menempuh pendidikan Master Akuntansi di
AMBS TA 2019/2020, saya berharap menjadi pemeriksa keuangan negara/daerah yang
semakin profesional. Hal ini juga dapat mendukung terwujudnya semangat nawa
cita pemerintah saat ini, yaitu membangun tata kelola pemerintah yang bersih
dan efektif melalui peran saya sebagai pemeriksa.
Sebagai pemeriksa sektor swasta selama tiga
tahun dan pemeriksa sektor publik selama tiga tahun, saya berpendapat bahwa
sektor swasta menggambarkan pendapatan dan biaya yang lebih menyeluruh
dibandingkan dengan sektor publik karena perbedaan basis standar akuntansi yang
digunakan pada kedua sektor tersebut. Namun, penerbitan Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) secara terus
menerus meningkatkan komparabilitas laporan keuangan sektor publik dan swasta,
khususnya sistem akuntansi akrual yang menyoroti “biaya penuh” dari aktivitas
pemerintah seperti depresiasi (Davis, 2010). Kesesuaian penerapan SAP atas
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), salah satunya, dicerminkan oleh
opini BPKRI atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah tersebut. Lebih
jauh, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPKRI Semester II Tahun 2017 menyajikan data
opini wajar tanpa pengecualian (WTP) telah dicapai oleh 275 dari 415 (66%)
pemerintah kabupaten (Pemkab) dan 72 dari 93 (77%) pemerintah kota (Pemko).
Capaian opini tersebut telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang
penguatan tata kelola pemda yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019 masing-masing sebesar 60% dan 65% pada Tahun 2019.
Namun, hasil pemeriksaan atas LKPD Tahun Anggaran 2016 pada 34 pemda di Sumut,
diketahui bahwa delapan dari 25 Pemkab (32,00%) dan tiga dari delapan Pemko
(37,50%) yang memeroleh opini WTP. Angka tersebut masih berada di bawah
rata-rata nasional. Lebih rinci, 18 pemda (52,94%) memeroleh opini Wajar Dengan
Pengecualian (WDP) dan 4 pemda (11,76%) memeroleh opini Tidak Menyatakan
Pendapat pada akun aset tetap dan atau akumulasi penyusutan. Pada Tahun
Anggaran 2017, hasil pemeriksaan atas LKPD pada 21 pemda (91,30%) di NTT
memeroleh opini WDP pada aset tetap. Kondisi LKPD di Sumut dan NTT tersebut
memengaruhi penyajian nilai penyusutan serta mengindikasikan bahwa pemerintah
belum dapat menyajikan biaya penuh atas aktivitas pelayanan publik. Kondisi
seperti ini dapat menguatkan peran saya sebagai pemeriksa untuk menekankan
pentingnya pemahaman akuntansi bagi pemda dalam rangka membangun tata kelola
pemerintah yang bersih dan efektif serta menyiapkan posisi ekonomi Indonesia di
Tahun 2050.
Pada Februari 2017, PwC memublikasikan
sebuah laporan berjudul “The long view: how will the global economic order
change by 2050”. Berdasarkan laporan tersebut, ekonomi Indonesia berada pada
peringkat delapan di Tahun 2016 dan diproyeksikan berada di urutan ke-5 di
Tahun 2030. Bahkan, proyeksi posisi Indonesia Tahun 2050 meningkat di urutan
ke-4. Proyeksi posisi Indonesia ini menimbulkan tantangan pendidikan bagi saya
untuk memastikan peningkatan profesionalitas saya sebagai pemeriksa. Cara yang
dapat saya lakukan adalah dengan melanjutkan pendidikan Master Akuntansi di AMBS,
yang merupakan universitas terbaik peringkat ke-36 di dunia and ke-10 di Eropa
(FT Global Rankings 2018). Saya amat berharap dapat mengenyam pendidikan Master
Akuntansi di AMBS TA 2019/2010 dengan dukungan BPI Afirmasi. Pada akhirnya,
saya pun berharap bahwa akumulasi ilmu teori dan praktik akuntansi yang telah,
sedang, dan akan saya peroleh dapat berdampak nyata bagi Indonesia melalui
peran saya sebagai pemeriksa di BPKRI.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment