
Waktu Baca: 15 menit
Berawal dari pendidikannya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Dr. Bambang Pamungkas, MBA., CA., Ak., CIMBA memulai perjalanan panjangnya di beberapa lembaga. Pria kelahiran Semarang, 3 April 1962 tersebut mengawali kariernya di Kementerian Keuangan. Seiring waktu berjalan, Bambang ditugaskan untuk mengabdi di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).Bisa diceritakan bagaimana bapak masuk ke BPK?
Setelah lulus sekolah, saya masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada tahun 1980. Dua tahun kemudian diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Begitu lulus STAN, saya masuk Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara Kementerian Keuangan. Kemudian bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di sanalah awal-awal saya merintis karier. Saat pertama lulus dari STAN, saya masih D3. Kalau di STAN istilahnya Ajun. Tahun 1986 sekolah lagi tingkat 4 atau D4, lulus 1989 sebagai akuntan. Di BPKP sampai tahun 2003. Setelah itu ada penugasan ke Kementerian Dalam Negeri sampai 2011. Setelah dari Kemendagri, baru ditugaskan ke BPK. Di BPK saya mendapat tugas sebagai staf ahli di bidang pemerintahan daerah. Setahun kemudian menjadi pegawai BPK sampai sekarang.
Apa yang menjadi tanggung jawab bapak sebagai Tortama V?
Dari segi penugasan, saya dapat amanah untuk mengkoordinasikan pemeriksaan keuangan di tingkat pusat. Misalnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama. Kemudian Badan Nasional Pembina Perbatasan, BPS Sabang, BP Batam, dan Suramadu. Di daerah saya membantu anggota atau pimpinan BPK untuk mengkoordinasikan perwakilan-perwakilan Jawa dan Sumatera. Itu tanggung jawab saya.
Berarti pernah tugas di daerah?
Kalau tugas di daerah sering. Tapi kalau menetap di daerah tidak pernah. Kebetulan kariernya di pusat terus, tapi mengurusi daerah. Ketika di BPKP, Kemendagri dan staf ahli mengurusi daerah, kemudian Tortama mengurus daerah, khususnya Jawa dan Sumatera. Jadi kalau ditanya sudah pernah ke daerah, sering. Tapi penugasan tetap tidak pernah.
Menurut bapak bagaimana pengelolaan keuangan daerah?
Kalau kita lihat trennya, setiap tahun semakin membaik. Kalau kita lihat dari tren opini yang diberikan BPK, semakin hari semakin baik. Prosesnya panjang untuk membuat daerah melek terhadap pertanggungjawaban keuangan, apalagi akuntansi. Dari model single entry ke double entry, itu panjang sekali prosesnya. Kalau kita bicara akuntansi double entry, di daerah dimulai dari adanya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002. Itulah sebenarnya tonggak orang berbicara double entry. Jadi kalau beli sesuatu tidak sekadar dicatat uangnya, tapi juga dicatat sebagai aktiva, dan lainnya. Di saat itu kita mulai melek, tidak lagi bicara single entry, tapi double entry. Jadi bayangkan saja kalau dimulai 2002, sekarang sudah 15 tahun.
Apa kesulitan untuk membuat daerah melek dengan sistem double entry?
Mindset dari tahun 1945 sampai 2002 kita menerapkan single entry. Yang penting ada buku kas masuk dan kas keluar. Sekarang disuruh beralih tidak sekadar mencatat uang masuk dan keluar. Tapi uang yang masuk ini jadinya apa. Uang yang keluar jadinya apa. Kan ini mengubah mindset. Kalau teknis bisa dipelajari. Tapi ketika bicara mindset, itu yang agak berat. Tapi kita lihat perkembangan waktunya. Karena memakai peraturan perundang-undangan atau wajib, mau tidak mau teman-teman di daerah harus melaksanakan undang-undang itu.
Seberapa penting sinergi BPK dengan lembaga lain?
BPK tidak hidup di ruang hampa. BPK punya amanat untuk memonitor tindak lanjut hasil pemeriksaan. Itu artinya mesti ada interaksi dengan yang kita periksa. Kalau BPK sudah periksa sendiri, tidak diapa-apakan, lalu mau ngapain. Karena itu harus bersinergi, tidak hanya kepada penegak hukum, tapi kepada yang diperiksa. BPK malah punya perintah dari undang-undang. Kalau menemukan adanya indikasi fraud, harus dilaporkan kepada penegak hukum. Selanjutnya menjadi kewenangan penegak hukum. Tapi paling tidak, kita laporkan. Kalau tidak ditindaklanjuti itu urusan penegak hukum. Walaupun bisa tanya kenapa tidak ditindaklanjuti.
Apa pengalaman paling berkesan bagi bapak selama bekerja di BPK?
Selama di BPK yang paling berkesan, ketika pertama kali tugas di BPK sebagai staf ahli saat diperbantukan untuk melakukan pemeriksaan. Kala itu ada permintaan dari DPR untuk melakukan pemeriksaan mengenai sengketa pemerintah dengan DPR terkait tambang Newmont. Itu bagaimana BPK secara profesional melihat kepentingan positif dari pemerintah dan DPR. Di situlah saya berkesan. Alhamdulillah, saya waktu itu sebagai wakil penanggungjawab ikut dalam setiap prosesnya. Pemeriksaan tidak hanya membutuhkan kemampuan teknis, tapi harus berpikir yang lebih luas lagi. Prosesnya kurang lebih selama 2 bulan saat itu. Di saat pemerintah dan DPR saling tarik menarik, kita menunjukkan kenetralan BPK. Bagaimana secara profesional tidak melihat itu kepentingan apakah DPR maupun pemerintah.
Menurut bapak, apa tantangan BPK saat ini?
Ekspektasi masyarakat terhadap BPK tinggi sekali. Misalnya, ditanya sudah opini, terus selanjutnya apa? Sudah ada opini tapi masih ada korupsi atau operasi tangkap tangan oleh KPK. Kan itu ekspektasi masyarakat yang besar. Hanya, pertanyaannya apakah semuanya yang berkaitan dengan fraud terhadap keuangan itu tanggung jawab BPK? Tidak semua jadi tanggung jawab BPK. Tapi paling tidak ada harapan masyarakat. Itu menjadi sesuatu yang berat. Tantangan kedua untuk BPK adalah, kalau sudah wajar tanpa pengecualian (WTP) lalu apa selanjutnya. Memangnya masyarakat sudah sejahtera? Memangnya kemiskinan sudah menurun? Itulah mengapa BPK terus berpikir supaya pemeriksaan bukan sekadar menghasilkan opini, tapi pemeriksaan sudah mengarah pada bagaimana uang yang dikeluarkan negara punya dampak pada penurunan kemiskinan, kesejahteraan dan lainnya. Tapi apakah itu berat? Berat. Apakah itu bagus? Bagus. Kalau kita semakin ditantang, kita semakin menunjukkan kalau kita mampu.
Apa pesan bapak untuk para pemeriksa BPK?
Kalau di BPK, kita sudah jelas memiliki nilai yang mesti dijaga. Independensi, integritas dan profesionalisme. Nilai-nilai itu harus kita jalankan sekuat tenaga dan semampu kita. Karena itulah nilai-nilai dasar yang kita yakini. Pemeriksa BPK memiliki risiko yang tinggi saat bekerja di lapangan.
Bagaimana perlindungan terhadap mereka?
Saya rasa pimpinan memberikan perlindungan. Kalau saya sering dengar teman-teman di Papua atau di Aceh, dalam beberapa hal kalau merasa tidak aman akan berkoordinasi dengan penegak hukum. Tujuannya agar pemeriksaan bisa berjalan lancar. Saya rasa ada perlindungan. Memang itu kita minta untuk ada perlindungan keamanan. Ancaman juga tidak hanya secara fisik, tapi psikis juga ada. Kalau ada pihak yang merasa punya bekingan, terkadang ada saja ancamannya terhadap pemeriksa. Tapi intinya, pemeriksa harus memegang teguh nilai-nilai independensi, integritas dan profesionalisme. Cara penyampaian dan pendekatan saat ada masalah di lapangan memang semua itu harus belajar dari pengalaman. Pemeriksaan itu memberikan kredibilitas dan keyakinan apa yang mereka pertanggungjawabkan. Filosofi pemeriksaan tidak mencari kesalahan. Kalau cari kesalahan, ya sudah dihantam. Kalau Anda baik saya katakan baik, kalau Anda tidak bagus ya katakan tidak bagus, tentunya dengan memberikan solusi.
Apa yang menjadi tantangan bagi para pemeriksa BPK ke depannya?
Kalau kita bicara tantangan, salah satunya adalah teknologi informasi. Kita harus bisa beradaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi. Kita juga harus paham dengan sisi positif dan negatif dari teknologi informasi itu. Selain itu, perkembangan dunia terus berubah. Jangan pernah kita merasa bekas akuntan, begitu lulus, kemudian yudisium, selesai. Padahal terus berkembang. Saya dulu belajarnya bukan akuntansi. Tapi Tata Buku. Sekarang sudah berubah akuntansi, kalau tidak mau belajar ya ketinggalan.
___
Sumber:
Badan Pemeriksa Keuangan | Majalah Warta Pemeriksa Edisi 08 Vol. I Agustus 2018 | hal. 30 - 32
No comments:
Post a Comment