BABAK BARU PENGELOLAAN DANA HAJI

Waktu Baca: 9 menit
Pengalihan kewenangan dari Kementerian Agama ke Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) diharapkan membuat pengelolaan keuangan haji menjadi lebih baik dalam transparansi dan optimalisasi.
Kuota haji yang diberikan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia tahun 2018 mencapai 221 ribu jamaah. Jumlah ini mengalami penambahan sebanyak 10 ribu dibandingkan kuota haji 2017 yang sebesar 211 ribu jamaah. Jumlah itu terdiri atas 204 ribu jamaah haji reguler dan 17 ribu jamaah haji khusus. Penambahan kuota ini diklaim sebagai keberhasilan Pemerintah Indonesia meyakinkan Pemerintah Arab Saudi untuk menambah kuota mengingat besarnya minat warga negara Indonesia menunaikan ibadah haji. 

Masyarakat patut berbangga atas penambahan kuota. Namun, penambahan ini juga perlu dibarengi peningkatan kualitas penyelenggaraan haji oleh pemerintah. Sebab, hasil pemeriksaan BPK mencatat sejumlah permasalahan dalam penyelenggaraan haji.


Selain penyelenggaraan, pengelolaan dana haji juga jadi salah satu hal yang harus diperbaiki. Perbaikan pengelolaan dana haji telah mengambil langkah strategis dengan membentuk BPKH. Lembaga ini didirikan sebagai amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Berdirinya BPKH pada Agustus 2017 menandakan pengelolaan keuangan haji memasuki babak baru.


Dengan berdirinya BPKH, pengelolaan dana haji tidak lagi oleh Kementerian Agama. Dana tersebut berangsur-angsur dipindahkan ke BPKH. Tujuan spesifik berdirinya BPKH agar pengelolaan dana haji lebih transparan. Selain itu, pengelolaan dana haji oleh BPKH berpeluang menciptakaan manfaat finansial mengingat besarnya dana haji yang terkumpul. Pemanfaatan itu adalah mengoptimalisasi dana haji dalam investasi. Ini akan menambah gairah ekonomi berbasis syariah.


Dana haji bisa menciptakan kemanfaatan yang besar karena jumlahnya mencapai Rp102 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp2 triliun merupakan dana abadi umat. Hasil dari optimalisasi dana haji akan kembali kepada jamaah haji sebagai subsidi ongkos haji. Adapun sisa dana dalam penyelenggaraan haji akan menambah saldo dana abadi umat.


Pengalihan kewenangan dari Kementerian Agama ke BPKH diharapkan membuat pengelolaan keuangan haji menjadi lebih baik dalam transparansi dan optimalisasi. BPKH diharapkan menindaklanjuti rekomendasi BPK. Meski BPK menyajikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), masih ada temuan dan catatan yang perlu direspons segera oleh BPKH untuk perbaikan.


Catatan tersebut di antaranya berkaitan dengan penempatan dana haji pada produk investasi yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariah. Untuk memutar dana haji di pasar investasi, BPKH tidak bisa sembarangan. Dana haji adalah dana yang berasal dari umat Muslim yang mendaftar haji. Undang-undang telah mengatur pengelolaan dana haji harus mengacu undang-undang syariah.


Namun dalam hasil pemeriksaan, BPK masih ditemukan dana sekitar Rp1,5 triliun dan US$10,00 juta yang diinvestasikan dalam produk investasi non-syariah. BPK berharap ini menjadi fokus BPKH untuk segera meningkatkan kinerja investasinya sehingga bisa berangsur-angsur mengurangi dana kelola haji di pasar investasi non-syariah.


Bagi hasil dalam penempatan dana haji juga menjadi sorotan BPK. Bagi hasil diperoleh dari optimalisasi dana haji setoran awal yang kemudian diberikan kepada jamaah sebagai pemilik dana. Hasil pemeriksaan BPK menemukan jamaah haji 
yang berangkat haji, mendapatkan bagi hasil melebihi dari yang seharusnya didapat. Bagi hasil ini didapatkan dari bagi hasil milik jamaah haji yang masih dalam antrean atau belum berangkat.

Menurut BPK, bagi hasil diberikan kepada jamaah haji pemilik dana yang dijadikan modal optimalisasi, bukan untuk menyubsidi jamaah haji lain yang berangkat. Jika praktik penggunaan dana bagi hasil jamaah yang antre dikucurkan untuk subsidi jamaah yang berangkat, berpotensi menjadi preseden di kemudian hari. Kemungkinan terburuknya adalah jamaah haji yang belum berangkat kekurangan dana.


Dua hal tadi adalah bagian dari pemeriksaan BPK terhadap pengelolaan dana haji. Ulasan ini menjadi bahasan utama Warta Pemeriksa edisi kali ini. Dalam liputan haji ini juga disinggung mengenai rencana pemerintah menggunakan dana haji untuk infrastruktur. Bagi BPK, pengelolaan dana haji untuk proyek pemerintah tetap harus mengacu regulasi yang mengaturnya selama ini.


Pemeriksaan BPK juga mengurai ada biaya-biaya penyelenggaraan haji yang ternyata sebagian pekerjaan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sayangnya, pekerjaan yang sama juga ada yang dibiayai dari dana jamaah.

Artinya, satu jenis pekerjaan mendapatkan anggaran ganda. Ini masih ditemukan dalam pemeriksaan BPK meski jumlahnya berangsur menurun. BPK berharap pemerintah menerbitkan aturan yang detail, jelas, dan lugas, sehingga tak
ada lagi anggaran ganda.

Selain menyoroti pengelolaan dana, pemeriksaan BPK juga menyentuh aspek penyelenggaraan haji. Mulai dari fasilitas, antrean yang lama, hingga penyelenggaraan haji di Arab Saudi. Pemeriksaan BPK yang detail dan sistematis terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan keuangan dana haji diharapkan mampu menjadi pemicu berharga agar penyelenggaraan haji semakin membaik.


___


Sumber:

Badan Pemeriksa Keuangan | Warta Pemeriksa Edisi 08 Vol. I Agustus 2018 | hal. 4 - 5

No comments:

Post a Comment