
Waktu baca: 13 menit
Masih banyak lokasi di pedesaan yang belum bisa dijangkau menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua.
Menjadi pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan pekerjaan ringan. Apalagi bagi mereka yang ditempatkan di Indonesia Timur seperti Papua Barat. Butuh kerja keras, perjuangan, dan pengorbanan untuk menjalankan amanah dalam mengawal uang rakyat. Tato Subehan (35 tahun) adalah salah satu dari sekian banyak pegawai BPK yang mengabdikan dirinya di pelosok Indonesia. Pemeriksa Muda Penata Tingkat Satu Auditorat I.A tersebut ikhlas mendapatkan tugas yang jauh dari daerah asalnya di Cilacap, Jawa Tengah.
Tato ditugaskan di Kantor BPK Papua Barat sejak Februari 2013 sampai dengan Juni 2017 setelah bergabung di BPK pada 2006. “Awalnya kaget karena ditempatkan di Papua Barat. Tapi saya tetap istiqomah bahwa ini adalah tugas yang harus diterima dan dijalankan dengan penuh semangat,” katanya.
Lulusan Magister Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur tersebut menceritakan, ada banyak tantangan dalam menjalankan tugasnya di Papua Barat. Salah satu tantangan terberat adalah medan di Papua Barat. Menurutnya, masih banyak lokasi yang belum bisa dijangkau menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. “Untuk wilayah-wilayah di Papua Barat itu masih banyak lokasi yang dituju itu medannya sangat ekstrem. Wilayah di Papua Barat juga kebanyakan dikelilingi oleh laut,” dia menceritakan.
Sekalipun ada lokasi yang bisa dijangkau menggunakan kendaraan roda empat, hanya bisa dilalui menggunakan mobil bertipe double cabin. Ini lantaran jalannya sangat terjal dan ada jurang di sisi jalan. Tato bersama rekan-rekannya pun harus duduk di bak belakang kendaraan saat melewati jalan terjal. “Ini sebagai antisipasi jika suatu saat mobil terperosok ke jurang, kami bisa segera menyelamatkan diri dengan cara melompat dari mobil,” ujar pria beranak satu ini. Cuaca juga jadi tantangan bagi para pemeriksa di Papua Barat. Sebab, cuaca bisa berubah dengan cepat. Saat berangkat terang benderang, namun di perjalanan bisa hujan sangat deras. Belum lagi jika harus melewati jalan yang terpotong oleh sungai. Kadang kala, kata dia, ketinggian air meningkat drastis apabila turun hujan lebat. Tim pun harus menunggu air surut karena terlalu berbahaya jika memaksakan untuk menyeberanginya.

Pemeriksa BPK di Papua Barat juga wajib melakukan persiapan sematang mungkin saat ingin mengunjungi suatu lokasi. Menurut dia, ada beberapa wilayah di Papua Barat yang sama sekali tidak ada sinyal telekomunikasi. Sebab, jika ada data yang tertinggal, maka mau tidak mau harus kembali untuk mengambil data tersebut. “Karena kami tidak bisa berkomunikasi lewat telepon seluler dengan daerah luar akibat tidak ada sambungan telepon. Sehingga, kita benar-benar siapkan secara matang segala sesuatunya untuk mendukung kinerja kita agar tidak kembali ke tempat kerja untuk mengambil sesuatu,” ujarnya. Untungnya, ujar dia, jaringan selular sudah mulai masuk ke Papua Barat sejak setahun lalu. Sehingga, urusan komunikasi menjadi lebih ringan. Akan tetapi, koneksinya tidak secepat di Pulau Jawa atau pulau lainnya. Masih ada tantangan lainnya. Sebagai daerah yang dikelilingi kepulauan, ada cukup banyak lokasi yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan speed boat. Dan, biasanya lokasi yang dituju belum tersedia akses listrik. Kalaupun ada, sangat terbatas waktunya. Paling lama, ujar dia, listrik menyala selama lima jam. Selebihnya hanya diterangi lilin atau lampu minyak. “Makanya sebelum listrik dipadamkan, kami semua mengisi baterai laptop dan lainnya. Belum lagi kalau cuaca kurang baik, maka ombak juga lumayan tinggi dan bisa menggoyang kapal sehingga perut rasanya dikocok-kocok,” ungkap Tato.
Dengan medan yang cukup ekstrem dan juga sulitnya berkomunikasi menggunakan telepon selular, semua persiapan harus dilakukan dengan matang, mulai dari jadwal kunjungan hingga materi yang akan digunakan. Dia mengatakan, tim pemeriksa juga harus cepat melakukan koordinasi dengan semua kepala dinas di lokasi. “Agar pihak yang kita datangi juga bisa mempersiapkan semuanya dengan baik dan tidak perlu lagi ada data yang tertinggal,” katanya.
SEMPAT BERPISAH DENGAN KELUARGA
Saat pertama diterima bekerja di BPK, Tato awalnya masih ditempatkan di Pulau Jawa, tepatnya di Kota Surabaya, Jawa Timur. Ia bekerja selama kurang lebih 6,5 tahun di Kota Pahlawan. Di kota itulah, Tato menemukan tambatan hatinya dan menikah. Ia dikaruniai seorang anak dari pernikahannya tersebut.
Memiliki istri dan seorang anak membuatnya semakin betah bekerja di Surabaya. Namun, pada akhir 2012, loyalitas Tato sebagai pegawai BPK diuji karena dia diperintahkan pindah bekerja di Papua Barat. Semua pegawai BPK memang harus siap ditempatkan di manapun dan kapanpun. Tanpa berpikir panjang, Tato memenuhi amanah tersebut. Ia mulai aktif bertugas di Kantor BPK Papua Barat pada Februari 2013.
“Awalnya saya belum membawa keluarga ke sana. Saat itu ada beberapa pertimbangan yang kami putuskan bersama istri,” Tato mengisahkan. Tato pun menjalani kehidupan seorang diri di Papua Barat selama satu tahun. Tak ayal, rasa rindu terhadap istri dan anak kerap menghampirinya. Akan tetapi, rasa rindu tersebut tak menjadi halangan untuk terus bekerja dan mengabdi pada negara. “Setelah satu tahun di sana sendirian, istri dan anak saya akhirnya menyusul. Saya sangat bersyukur keluarga saya betah tinggal di Papua,” kata Tato.
HARUS KUAT FISIK DAN MENTAL
Pemeriksa BPK juga dituntut mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Pasalnya, seorang pemeriksa tidak bisa menolak saat ditempatkan di manapun di seluruh Indonesia. Tato mengatakan, tantangan menjadi pemeriksa di Papua Barat bukan hanya medan yang berat. Dirinya juga harus cepat menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap lingkungan yang didatanginya.
"Wilayah Papua yang orang bilang menyeramkan dan mudah disulut emosinya, ternyata tidak benar seutuhnya,” tegas Tato. Tato mengaku pernah menghadapi kondisi yang bisa dibilang sangat berbahaya dan mengancam nyawanya. Hal tersebut terjadi saat ia melakukan pemeriksaan sebuah bandara di Papua Barat bersama temannya. "Hampir saja kami menjadi kemarahan dari warga Papua yang membawa senjata tajam parang. Mereka salah persepsi saat melihat kami sedang melakukan pemeriksaan lapangan," ujarnya.
Dia mengisahkan, para warga menganggap dia bersama temannya melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanah. Warga beranggapan tanah mereka akan dibebaskan oleh pemerintahan daerah. Orang Papua, ujar dia, memiliki sifat yang sangat kuat. "Apabila dirinya harus mempertahankan harta benda yang dimilikinya, maka mereka tidak sungkan bertaruh nyawa," katanya. Warga yang datang mengerumuni Tato awalnya sempat emosi meskipun sudah dijelaskan bahwa dia bersama rekannya bukan sedang melakukan pengukuran tanah untuk perluasan bandara. "Tapi mereka tidak mau mengerti, begitu ada salah satu petugas bandara menjelaskan secara detail akhirnya mereka mengerti dan bersalaman meminta maaf kepada kami. Rasanya lega sekali, hampir hilang nyawa kita kalau tidak segera dijelaskan," katanya lirih.
Selain kultur masyarakatnya yang unik di Papua, Tato menjelaskan ancaman lain yang berbahaya saat bertugas di Papua adalah penyakit malaria. Malaria adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dari manusia dan hewan lain yang disebabkan oleh protozoa parasit (sekelompok mikroorganisme bersel tunggal) dalam tipe plasmodium. Malaria menyebabkan gejala yang biasanya termasuk demam, kelelahan, muntah, dan sakit kepala. "Nyamuk yang satu ini adalah momok yang sangat menakutkan di Papua, makanya kita selalu dipesankan agar menjaga kebugaran fisik agar tidak mudah terserang malaria," katanya.
____
Sumber:
Badan Pemeriksa Keuangan | Majalah Warta Pemeriksa Edisi 02 Vol. I Februari 2018 | hal. 27 - 29
No comments:
Post a Comment